Rabu, 03 Juli 2013

AL-QURAN SEBAGAI WAHYU

 AL-QURAN SEBAGAI WAHYU
BAB I
PEMBAHASAN
A.    Latar belakang masalah
Manusia dari satu titik pandang yang pasti adalah mahluk rasional, tetapi kemampuan rasional yang sekaligus perluasan dan refleksi intelek ini dapat menjadi kekuatan dan instrumen kebatilan, jika dipisahkan dari intelek dan wahyu, yang sendirinya memberikan kualitas dan kandungan sucinya oleh karna itu lebih dari sebagai “binatang yang berpikir”. Seseorang dapat mendefenisikan manusia dalam satu cara yang lebih subtansial sebagai mahluk yang diberkahi dengan suatu intelejensi penuh, yang berpusat pada absoulut yang diciptakan untuk mengetahui absoulut. Menjadi manusia adalah mengetahui dan melebihi diri sendiri. Mengetahui pada akhirnya berarti mengetahui subtansi tertinggi, yang sekaligus merupakan sumber segala sesuatu, yaitu Allah SWT. Manusia dengan segala kelebihan dan kekurangan, terutus oleh Allah SWT. Untuk melaksanakan dua tanggung jawab besar, yaitu sebagai khalifah di muka bumi dan untuk memakmurkannya dan sebagai hamba Allah untuk mengabdi kepadanya. Dalam pelaksanaan dua fungsi tersebut, manusia tentu saja membutuhkan bimbingan, agar tidak menyimpang dari tugas kemanusiaannya  dalam cakupannya yang lebih universal, bukan hanya manusia yang membutuhkan bimbingan dari sang khalik, tetapi juga kepada mahluk lain atau yang tidak bernyawa sekalipun. Sehingga semua berada pada posisi yang sebenarnya yaitu sunnatullah. Bentuk bimbingan berupa komunikasi antara tuhan dengan mahluknya dalam bahasa agama biasa disebut dengan wahyu.
Nabi  Muhammad saw sebagai penerima wahyu untuk kitab terakhir yaitu al quran yang kemudian menjadi mukjizat terbesar dan sekaligus menjadi kitab suci umat Islam.
B.    Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang tersebut di atas maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
a.    Pengertian  Al-Qu’ran  sebagai wahyu
b.    Bagaimana Allah swt menyampaikan wahyu
c.    Bagaimana Allah swt mewahyukan   al-qur’an


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian  Al-Quran sebagai wahyu
a.    Pengertian al-quran
Secara etimologis, kata  Al-Qur’an  adalah mengandung arti bacaan atau yang dibaca. Lafal  Al-Qur’an berbentuk isim masdar dengan makna “isim maf’ul’, yang disebut dengan kitab suci umat Islam. Umat ini meyakininya sebagai firman-firman Allah swt. Yang diwahyukan dalam bahasa Arab kepada Nabi terakhir, Nabi Muhammad saw., untuk disampaikan kepada umat manusia hingga akhir zaman.
Dari  segi pengertian bahasa, beberapa ulama berbeda pendapat tentang asal kata ‘al- Qur’an’ diantaranya :
1.    Al- Imam al-Syafi’iy (150-204 H), mengatakan bahwa kata ‘al-Qur’an ‘ ditulis dan dibaca tanpa hamzah, serta tidak terambil dari pecahan fi’il (bukan ism al- musytaq).
2.     Al- Far’ra (w. 207 H),  pengarang kitab ‘Ma’any  al-Qur’an, berpendapat bahwa kata Al- Qur’an tidak memakai hamzah dan terambil dari kata ‘qarinah’ yang berarti ‘petunjuk’. Ini terjadi karena sebagian ayat-ayat al- Qur’an itu serupa satu dengan yang lainnya, seolah-olah sebagian dari ayat-ayatnya merupakan petunjuk dari apa yang dimaksud oleh ayat lain yang serupa itu.
3.    Al- Asy’ariy (w. 324 H), berpendapat bahwa kata ‘ qarana’ yang berarti ‘menggabungkan’. Hal ini dipahami karena surah-surah, ayat-ayat, dan huruf-hurufnya beriring-iringan, yang satu digabungkan dengan yang lain sehingga menjadi satu mushhab.
4.    Al- Lihyaniy (w. 251 H), mengatakan bahwa kata al- Qu-r’an’ itu berhamzah, bentuknya masdar dari 1 kata kerja qara’a yang berarti ‘bacaan’, yang selalu berarti ‘ism al- maf’ul’ (yang dibaca). Oleh karena itu, al- Qur’an selalu dibaca.
5.    Dr. Subhi al- Shalih dalam bukunya ‘ Mabahits’, fi ‘Ulum al- Qur’an’ mengemukakan bahwa pendapat yang paling kuat adalah yang mengatakan bahwa kata Al- Qur’an itu adalah bentuk masdar dan muradif  dengan kata kira’ah yang berarti ‘membaca’. Hal ini diperkuat oleh pendapat lain, yang mengemukakan bahwa kata  Al- Qur’an, secara harf., berasal dari kata akar qara’a yang berarti ‘ bacaan atau himpunan’, karena ia merupakan kitab suci yang wajib dibaca dan dipelajari, serta merupakan himpunan dari ajaran-ajaran wahyu yang terbaik. 
Adapun penulis menjabarkan beberapa macam nama Al-Qur’an yang dicantumkan di bawah ini sebagai berikut :
1.    Al- Qur’an
Al- qur’an adalah salah satu nama kitab suci umat Islam yang terbanyak dipergunakan oleh Allah swt. Dalam Al-Qur’an yaitu sebanyak 70 kali, diantaranya tesebut dalam QS.3:185 yang berbunyi sebagai berikut :
       ••                                           
Terjemahannya : (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil) karena itu, Barangsiapa diantara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.
   
Kemudian al- Qur’an secara harfiah, berarti bacaan yang mencapai puncak kesempurnaan.  Al- Qur’an al- Karim berarti bacaan yang maha sempurna dan maha mulia. Kemahamuliaan dan kemahasempurnaan ‘bacaan’ ini agaknya tidak hanya dapat dipahami oleh para pakar, tetapi juga oleh semua orang yang menggunakan ‘sedikit’ pikirannya.     
2.    Al- Kitab
Al- Qur’an dinamai al- kitab (Alquran ) karena ditulis. Nama ini terdapat antara lain dalam  QS. Al- Nahl, 16:89. Sebagai berikut :
    •            •           
Terjemahannya : (dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.
       
Al-kitab secara harfiah berarti tulisan, buku, atau ketetapan tersebut mengacu kepada firman-firman-Nya yang diwahyukan dalam rangkaian kata-kata kepada setiap Nabi atau Rasul-Nya.
3.    Al- Zikr
Al- Qur’an dinamai al-Zikr karena merupakan pemberi peringatan, yang datang dari Allah swt. Nama tersebut antara lain terdapat dalam QS. al- Hijr, 15:9 yang berbunyi :
  •      
Terjemahannya : Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya[793].

Ayat ini memberikan jaminan tentang kesucian dan kemurnian Al Quran selama-lamanya.
Al-Zikr secara harfiah berarti ‘peringatan’. Alquran disebut al- Zikr  karena kehadirannya di tengah-tengah umat manusia menjadi peringatan dalam perjalanan hidup mereka. Di samping ia menjadi peringatan dalam segala hal, baik dalam bidang teologi (aqidah), tata sopan santun (akhlak), maupun yuridis (Hukum), dan sebagainya.
4.    Al- Furqan
Al-qur’an dinamai al-furqan karena membedakan mana yang hak dan mana yang batil atau karena diturunkan secara terpisah-pisah. Nama ini antara lain terdapat dalam QS. Al- Furqan, 25 : 1. Yang berbunyi sebagai berikut :
  •      •  
Terjemahannya : Maha suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran) kepada hamba-Nya, agar Dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam[1052],

Al-Furqan secara harfiah,  berarti  pembeda  antara  yang  benar  dan yang salah,  yang sejati dan yang palsu, yang baik dan yang buruk.
Sayyid  Quthb dalam bukunya “Aqidah Islamiah”, menjelaskan bahwa akal manusia tidak punya kemampuan dalam menentukan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang baik dan mana  yang salah. Itulah antara lain nama-nama  Alquran. Nama-nama tesebut terdapat dalam ayat-ayat al- Qur’an sendiri.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  
b.    Pengertian  wahyu
-    Menurut Bahasa
Wahyu berasal dari kata arab al wahyu,  dan  kata  itu adalah asli dari bahasa arab dan bukan pinjaman dari bahasa asing,  yang berarti suara, api dan kecepatannya. Wahyu berasal dari kata waha-yahi-wahyan artinya isyarah al syari’ah atau isyarat yang tepat.   sedangkan menurut qutham, wahyu dalam  bentuk masdar mengandung dua makna yaitu: tersembunyi dan cepat. Dengan demikian secara bahasa wahyu menunjukkan suatu arti pemberitahuan yang tersembunyi dan cepat yang dikhususkan kepada orang yang dimaksud,  arti sembunyi dalam arti yang lain. Terkadang  juga kata wahyu tersebut dimaksudkan dengan sesuatu yang diwahyukan yaitu dengan makna ism mafsul.  wahyu menurut pengertian  bahasa adalah mendapatkan. Dari sini nampak bahwa jika satu kata memiliki dua cara atau tiga arti atau lebih disebut lafadz yang musytarak ini sebagai indikator bahwa kata ini memiliki banyak arti, yang dapat dilihat pada ayat-ayat al- Qur’an. 
Kata wahyu dengan berbagai  derivasi atau perubahan bentuknya disebutkan dalam  al-Qur”an sebanyak 78 kali. Sebahagian besar dalam bentuk kata kerja ( Fi’il ) yaitu 72 kali  dan hanya 6 kali dalam kata benda (ism), ada beberapa arti yang ditunjukkan oleh kata tersebut, yaitu :
1.    Pemberitahuan Allah  kepada para Nabi baik berupa ajaran, berita atau perintah,  sebagaimana Firman Allah swt., di Surah An-Nisa (4) : 168 yang berbunyi sebagai berikut :
  •             
Terjemahannya : Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan melakukan kezaliman, Allah sekali-kali tidak akan mengampuni (dosa) mereka dan tidak (pula) akan menunjukkan jalan kepada mereka,

2.     Ilham yang bersifat Naluri yang diberikan kepada manusia, seperti wahyu kepada Ibu Nabi Musa  as.  Sebagaimana dalam Al- Qur’an  Surah Al- Qasass (28) : 7, yang berbunyi :     
                         

Termahannya : dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa; "Susuilah Dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya Maka jatuhkanlah Dia ke sungai (Nil). dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena Sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari Para rasul.
3.     Ilham yang bersifat instink yang diberikan kepada hewan, seperti wahyu Allah kepada lebah,  Firman Allah dalam Al- Qur’an  dalam surah An-Nahl (16) : 68 yang berbunyi : 
              
Terjemahannya : dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia",

4.     Isyarat yang cepat melalui simbol,  dalam Al- Qur’an surah Al- Maryam (19)  yang berbunyi sebagai berikut :
            
Terjemahannya : Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang.
5. Godaan syetan dan bujuk rayuan untuk melakukan kejahatan yang ditiupkan kepada diri manusia, sebagaimana dalam surah Al-An’am (6) : 112, berbunyi
                         
Terjemahannya :  dan Demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, Yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, Maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.

         Maksudnya syaitan-syaitan jenis jin dan manusia berupaya menipu manusia agar tidak beriman kepada Nabi.
6.     Perintah Allah kepada malaikat untuk melakukan suatu perbuatan.
                      •   
Terjemahannya : (ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku bersama kamu, Maka teguhkan (pendirian) orang-orang yang telah beriman". kelak akan aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, Maka penggallah kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka.

7.     Bacaan.
                    
Terjemahannya : Maka Maha Tinggi Allah raja yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al qur'an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan Katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan."
   
     Maksudnya: Nabi Muhammad  saw dilarang oleh Allah menirukan bacaan Jibril a.s kalimat demi kalimat, sebelum Jibril a.s selesai membacakannya, agar dapat Nabi Muhammad saw menghafal dan memahami betul-betul ayat yang diturunkan itu.
8.     Perintah Allah kepada bumi.
•     
 karena Sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang sedemikian itu) kepadanya.

9.     Pengaturan Allah di langit.
           •           
Terjemahannya : Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa. Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan yang Maha Perkasa lagi Maha mengetahui.

Dari ayat yang dikemukakan di atas yang memuat tentang wahyu, maka dapat dikemukakan 3 hal, yaitu ;
1.    Sedikitnya ada 3 aspek yang berkaitan dengan wahyu yang memiliki keragaman di dalam ayat-ayat al- Qur’an yaitu:
Sumber wahyu : dari Allah , malaikat, jin, Manusia dan syetan. Objek wahyu : manusia secara umum, Nabi-nabi, malaikat, hewan serta langit dan bumi.
Isi wahyu: perintah, hikmah, naluri, istink, bisikan, atau godaan perkataan yang indah.
2.    Dari sekian makna wahyu yang terdapat dalam al-Qur’an sebagian besar adalah makna yang  pertama,  yaitu  pemberitahuan Allah swt, kepada para Nabi berupa ajaran-ajaran, hikmah, tuntunan, perintah dan larangan, secara dominan penggunaan kata benda wahyu atau  kata kerja auha, bermakna teologis untuk menjadi istilah dalam komunikasi pesan ilahi atau pewahyuan kepada  para Nabi, khususnya nabi Muhammad  Saw. Meskipun demikian, pemaknaan kata ini bukan hanya satu arti saja. Terdapat penjabaran wahyu yang dianugrahkan kepada manusia dengan tiga cara. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Asy- Syurah (42) : 51 berbuyi .
        •                 
Terjemahannya : dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan Dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.

         Di belakang tabir artinya ialah seorang dapat mendengar kalam Ilahi akan tetapi Dia tidak dapat melihat-Nya seperti yang terjadi kepada Nabi Musa a.s.
  Yang pertama adalah wahyu dalam bentuk aslinya (Isyarah Al- Syari’ah ), yakni Allah memberikan isyarat dalam bentuk ide, gerak, atau petunjuk yang dibekaskan atau dibisikkan ke dalam kalbu  seperti wahyu Allah kepada ibu nabi musa as, dan kepada kaum hawariyyun yang secara teknis disebut wahyu khaffy atau wahyu batin. Dan wahyu khaffiy ini adalah wahyu yang dianugrahkan Allah kepada manusia sejagad, baik nabi maupun bukan nabi.
Yang kedua, adalah wahyu dari belakang tirai (min wara’il hijab), yakni Allah mewahyukan suatu kebenaran melalui ru’yah (impian), kasysyaf (pemandangan gaib dibalik alam nyata) dan ilham, (mendengar suara atau mengucapkan kata-kata dalam keadaan perpindahan untuk sementara waktu ke alam rohani, yakni dalam keadaan tidur atau jaga). Sebagai contoh, nabi Yusuf as, yang melihat 11 bintang, matahari dan bulan bersujud kjepadanya (QS. 12:4), dan arti impian itu adalah ketajaman Yusuf melihat perkara-perkara yang tersembunmyi (diantaranya meta’wilkan mimpi) ; atau impian dua orang pemuda ; yang satu memeras anggur dan yang lainnya membawa roti di atas kepalanya kemudian burung memakan sebagian roti itu (QS. 12:4)
Yang ketiga adalah, wahyu yang khusus kepada para nabi atau rasul allah yang secara teknis disebut wahyu matluw atau wahyu yang dibacakan, karna wahyu jenis ini berbentuk firman (kalam) allah yang dibacakan kepada para nabi oleh utusannya (malaikat jibril)). Wahyu allah kepada para nabi adalah wahyu tertinggi, karna wahyu ini membnerikan gambaran yang sempurna tentang ajaran agama yang hak. Karena itu wahyu jenis ini disebut juga wahy. Syar’iy atau wahyu agama dan kitab-kitab suci (kutub) QS. 2:285; 98: 3 atau shuhuf: QS. 20:353:36;80:13;87:18;98:2) merupakan catatan resmi dari wahyu jenis ini. Dengan demikian, wahyu jenis ke 3 ini sudah terhenti turun kepada nabi muhammad saw. Sebagain khatamm al-nabiyyin (QS. 33:40) sedangkan wahyu  jenis lainnya akan turun terus kepada setiap manusia hingga akhir zaman,   yang tidak memerlukan kehadiran-kehadirn malaikat, tetapi diterima manusia dengan cara inspirasi semata. 
3.    Wahyu dalam pengertian pemberitahuan Allah kepada para nabi mempunyai dua bentuk, yaitu pertama berbentuk kerangka praktis tindakan, sesuatu yang harus dikerjakan, bukan dikatakan, seperti wahyu turun kepada Nuh untuk membuat perahu, wahyua Allah kepaa Musa untuk berangka malam hari, memukul laut dengan tongkat dan wahyu tuhan kepada Muhammad untuk  mengikuti agama Ibrahim. Yang kedua dalam bentuk doktrim, bukan tingkah laku, misalnya formulasi  kalimat tuahanmu adalah  yang satu ( QS. Mar yam (18) : 100; 21 : 108; 41 : 6 ).
-    Menurut  Istilah
Wahyu menurut istilah adalah “pemberitahuan Allah kepada nabi- nya tentang hukum-hukumnya, berita – berita dan cerita dengan cara samar tetapi meyakinkan kepada nabi /rasul yang bersangkurtan, bahwa apa yang dirterimanya adalah betul-betul dari Allah sendiri. 
Menurut Prof. Dr. T. M. Hasbi Ash- Shiddieqy, menurut istilah wahyu adalah : “Nama bagi suatu yang dituangkan dengan cara cepat dari allah kedalam dada Nabi-nabinya, sebagaimana juga yang dipergunakan untuk lafal AL- Qur’an”. 
adapun unsur- unsur yang harus dipenuhi oleh sebuah wahyu adalah, sumber wahyu dari Allah Swt, obyek atau sasaran Wahyu  adalah nabi-nabi, isi kandungan wahyu yaitu pengetahuan, cara penyampaian : rahasia dan tersembunyi, metode penyampaian : langsung atau dengan perantara dan alat  penyampaian : audio atau visual.
Dengan demikian pengertian wahyu menurut istilah dengan memperhatikan unsur – unsur mesti terdapat pada wahyu adalah :
1.    Pemberitahuan Allah swt. Kepada seorang nabi tentang suatu pengakuan dengan cara rahasia dengan tersembunyi, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam bentuk suara dengan disertakan keyakinan dari nabi tersebut baha pengetahuan itu bersumber dari Allah swt. Dan mampu menunjukkan bukti kebenaraanya.
2.    Pengetahuan yang bersumber dari Allah swt. Yang disampaikan kepada seorang nabi dengan cara rahasia dan tersembunyi, baik secara langusng  atau tidak langsung dalam bentuk suara gambar dengan disertai keyakinan dari nabi  tersebut bahwa pengetahuan itu
3.    bersumber dari Allah swt., dan mampu  membujukkan bukti kebenarannya.
B.    Cara Allah menyampaikan Wahyu Kepada Nabi
Penjelasan tentang cara Allah swt, menyampaikan wahyu kepada nabi bisa dilihat dalam Q.S. al- Syura’ (42) : 51. Didalam ayat tersebut secara garis besar ada dua cara Allah swt, memberikan wahyu kepada nabi-nabi, yaitu :
1.    Secara langsung tanpa perantara, baik itu melalui wahyu dalam bentuk mimpi  atau penghujanan  langsung kedalam hati dari balik hijab.
2.    Melalui perantara malaikat yaitu wahyu yang disampaikan secara langsung tanpa perantara.

C.    Cara Allah swt Mewahyukan al- Qur’an
Para ulama menjelaskan bahwa  al- qur’an diturunkan kepada Rasulullah  saw. Melalui perantaraan malaikat  Jibril, dan bisa dipastikan bahwa tidak ditemukan ada ayat dijadikan argumen untuk menguatkan pendapat tersebut, yaitu QS. Al- Baqarah (2) : 97, QS. An- Nahl (16) : 102 dan QS. Al- Styura (26) : 193. Pengecualian dalam hal ini adalah surah al- kautsar yang menurut satu pendapat diturunkan oleh Allah swt . melalui mimpi yang benar  dari kalimat tertidur ringan tersebut, sesuai dfen gan hadits riwayat  Anas bin Malik, bahwa keadaan nabi dengan Jibril dalam keadaan seperti orang tidur. 
Al- Qur’an secara keseluruhan diturunkan dalam bentuk wahyu, yang ketiga seperti tertera dalam al- Qujr’an surah al- Syura’ (42) : 51 diatas.  Artinya,  al- Qur’an tidak mengandung wahyu lain, sehingga dapat dikatakan bahwa al- Qur’an adalah bentuk wahyu  yang paling tinggi. Allah berfirman  QS.  al- Syu’ra (26); 192-196
                               •         
Terjemahanny : dan Sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam,
193. Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril),
194. ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan,
195. dengan bahasa Arab yang jelas.
196. dan Sesungguhnya Al Quran itu benar-benar (tersebut) dalam Kitab-Kitab orang yang dahulu. ( QS. Syu’ara (26) : 192- 196)
   
Kemudian dari pembahasan diatas bahwa cara Allah swt, mewahyukan al- Qur’an kepada nabinya adalah sebagaimana dalam al- Qur’an yang berbunyi “ Dan tak ada bagi seorang manusia bahwa allah berbicara dengan dia, melainkan dengan jalan wahyu atau dari belakang hijab atau Allah mengutus seorang pesuruh, lalu ia mewahyukan dengan izinnya apa yang ia kehendaki” (Q.A. 51. 42 : Asy Syura).

        Allah menjelaskan dengan ayat ini, bahwa jalan Allah memberitahu apa yang Allah kehendaki kepada Nabi-nabinya, adapun beberapa cara mewahyukan kepada Nabi yaitu :
1.    Memberitahukan dengan tidak memakai perantaraan. Mimpi Nabi yang Shadiqh (yang benar), termasuk ke dalam bahagian ini. Dan wahyu serupa ini  mengenai urusan menyembelih anaknya ismail. Sebagaimana telah trjadi pula bagi nabi kita dipermulaan wahyu yang beliau terima. Wahyu serupa ini masuk kebawah perkataan  Illa wahyan = melainkan dengan jalan wahyu.
2.    Memberitahukan dengan  jalan melahirkan lebih dahulu sesuatu kepada nabi, lalu tertujulah jiwa Nabi dengan sempurna kepada yang lahir itu dan terlepaslah nabi dari segala kebimbangan alam. maka sesuatu yang dilahirkan itu menjadi hijab antara alam lahir dengan alam ghaib.
Macam-macam wahyu yang diterima Nabi, yaitu : pertam, Mimpi, kedua dicampakkan kedalam jiwanya, (dihembuskan kedalam jiwanya) perkataaan yang dimaksudkan. Dimaksud dengan wahyu dalam ayat 51. S. 42. Asyi syu’ra, ialah ; tuhan mencampakkan kedalam   jiwa   nabi  wahyu yang dimaksudkan. Ketiga, datang kepada Nabi wahyu sebagai gerincingan lonceng, yakni nabi mendengar suara yang keras, kempat malaikat merupakan dirinya sebagai seorang lelaki, kemudian pernah jibril datang pada nabi dengan rupa Dhiyah ibn Khalifah, seorang lelaki yang sangat elok rupanya.keempat, Jibril memperhatikan dirinya klepada nabi dalam rupanya yang asli, yang mempunyai enam ratus sayap, ke lima, Allah membicarakan kepada Nabi dari belakang hijab, baik dalam keadaan nabi sadar (jaga), sebagai dimalam isr, ataupun dalam tidur, sebagai yang diriwayatkan oleh At Turmudzy dari hadis Mu’adz, Ketujuh Israfil turun membawa beberapa kalimat dan wahyu, sebelum jibril datang membawa wahyu Qur’an.








BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.    Al- Qur’an sebagai salah satu  pedoman hidup bagi umat Islam, baik di dunia maupun di akherat .
Ada tiga aspek yang berkaitan denagn wahyu  yang  memiliki keragaman di dalam ayat-ayat al-qur’an yaitu : sumber wahyu : dari  Allah, malaikat, jin, manusia dan syaitan. Objek wahyu yang pertama, manusia secara umum, nabi-nabi malaikat, hewan serta langit dan bumi, yang kedua, wahyu yangn terdapat dalam al- qur’an sebagian besar makna yang pertama, yaitu pemberitahuan allah swt, kepada para nabi berupa ajaran-ajaran, hikamah, tuntunan, perintah dan larangan, dan yang ketiga yaitu : wahyu dalam pengertian pemberitahuan Allah kepada para nabi atau pemberitahuan allah swt, kepada seorang nabi tentang suatu pengakuan dengan cara rahasia dan tersembunyi, baik secara langsung maupun tidak  langsung dalam bentuk suara atau gambar dengan disertakan keyakinan dari nabi tersebut bahwa pengetahuan itu sumber dari allah swt. Dan mampu menunjukkan bukti kebenarannya.
2.    Al-qur’an diturunkan kepada Rasulullah saw melalui perantaraan malaikat Jibril  dalam berbagai macam cara mewahyukan-nya sebagaimana yang telah dijelaskan penulis di atas.

ALIRAN JABARIYAH DAN QODARIYAH

 ALIRAN JABARIYAH DAN QODARIYAH
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Pemikiran
Pembahasan ilmu kalam sebagai hasil pengembangan masalah keyakinan agama belum muncul di zaman Nabi. Umat di masa itu menerima sepenuhnya penyampaian Nabi. Mereka tidak mempertanyakan secara filosofis apa yang diterima itu. Kalau terdapat kesamaran pemahaman, mereka langsung bertanya kepada Nabi dan umat pun merasa puas dan tenteram. Hal itu berubah setelah Nabi wafat. Nabi tempat bertanya sudah tidak ada. Pada waktu itu pengetahuan dan budaya umat semakin berkembang pesat karena terjadi persentuhan dengan berbagai umat dan budaya yang lebih maju. Penganut Islam sudah beragam dan sebagiannya telah menganut agama lain dan memiliki kebudayaan lama. Hal-hal yang diterima secara imānī mulai dipertanyakan dan dianalisa.
Al-Syahrastānī menyebutkan beberapa prinsip yang merupakan dasar bagi pembagian aliran teologi dalam Islam. Di antara prinsip fundamental yang dibahas dalam ‘ilmu al-kalām yakni berkenaan dengan qadar dan keadilan Tuhan.  Ketika ulama kalam membicarakan masalah qada’ dan qadar, dan hal itu mendorong mereka untuk membicarakan asas taklif, pahala dan siksa, mereka pun berselisih dalam menentukan fungsi perbuatan manusia.
  Tuhan adalah pencipta segala sesuatu, pencipta alam semesta termasuk di dalamnya perbuatan manusia itu sendiri. Tuhan juga bersifat Maha Kuasa dan memiliki kehendak yang bersifat mutlak dan absolut. Dari sinilah banyak timbul pertanyaan sampai di manakah manusia sebagai ciptaan Tuhan bergantung pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan dalam menentukan perjalanan hidupnya? Apakah Tuhan memberi kebebasan terhadap manusia untuk mengatur hidupnya? Ataukah manusia terikat seluruhnya pada kehendak dan kekuasaan Tuhan yang absolut?.
Menanggapi pertanyaan-pertanyaan tersebut maka muncullah dua paham yang saling bertolak belakang berkaitan dengan perbuatan manusia. Kedua paham tersebut dikenal dengan istilah Jabariyah dan Qadariyah. Golongan Qadariyah menekankan pada otoritas kehendak dan perbuatan manusia. Mereka memandang bahwa manusia itu berkehendak dan melakukan perbuatannya secara bebas. Sedangkan Golongan Jabariyah adalah antitesa dari pemahaman Qadariyah yang menekankan pada otoritas Tuhan. Mereka berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya.
Di samping itu, berbagai ayat alquran menampakkan kedua aliran itu secara nyata. Berbagai ayat menunjukkan kebebasan manusia melakukan perbuatannya. Setiap manusia dibebani tanggung jawab atas segala tingkah lakunya. Karenanya mereka berhak memperoleh pahala atau menerima siksa, dipuji atau dicela.  Demikian pula banyak ayat lain dalam alquran yang mengisyaratkan bahwa manusia itu dikuasai sepenuhnya oleh Tuhan. Dengan kata lain manusia tidak memiliki kebebasan. 
Para ahli agama dan filosof dalam berbagai kurun waktu aktif membahas apakah manusia bebas berbuat sesuatu dengan kehendaknya atau kehendaknya itu disebabkan oleh sesuatu yang di luar dirinya.

B.    Rumusan Masalah
Dengan berpedoman pada latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, maka pemakalah mengemukakan rumusan masalah sebagai bahan acuan pembahasan sebagai berikut:
1.    Apa pengertian paham Qadariyah dan Jabariyah?
2.    Bagaimana latar belakang munculnya paham Qadariyah dan Jabariyah?
3.    Bagaimana argumen kedua paham tersebut baik ‘aqli dan naqli?


 
II.    Jabariyah dan Qadariyah
A.    Pengertian Paham Jabariyah dan Paham Qadariyah
Istilah Qadariyah mengandung dua arti, pertama, orang-orang yang memandang manusia berkuasa atas perbuatannya dan bebas untuk berbuat. Dalam arti ini Qadariyah berasal dari kata qadara artinya berkuasa. Kedua, orang-orang yang memandang nasib manusia telah ditentukan aleh azal. Dengan demikian, qadara di sini berarti menentukan, yaitu ketentuan Tuhan atau nasib.
        Qadariyah adalah satu aliran dalam teologi Islam yang berpendirian bahwa manusia memiliki kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri intuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian nama Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya , dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar  Tuhan. Dalam istilah inggris paham ini dikenal dengan nama free will dan free act.
Dengan paham tersebut, mereka beranggapan bahwa setiap aktifitas manusia adalah semata-mata keinginannya sendiri, yang terlepas dari kehendak Allah. Di antara mereka ada yang sangat ekstrim setingkat meniadakan qadar atau ketetapan Allah yang azali atas segala sesuatu sebelum terjadi.  Sehingga setiap pekerjaan berasal dari manusia sendiri, tidak bisa disandarkan pada Allah baik dari segi penciptaan maupun penetapan. Menurut mereka manusia bebas dan bisa memilih apa saja yang akan dikerjakan atau ditinggalkan, tidak ada seorang pun yang memiliki kuasa atas kemauannya , dia bisa berpindah kapan pun dia mau, dia bisa beriman atau kafir jika mau dan mengerjakan apa saja yang diinginkannya. Karena kalau tidak, maka dia bagaikan sebuah alat atau seperti halnya dengan benda-benda mati lainnya. Sehingga  asas taklif atau pemberian tanggung jawab, pemberian pahala dan siksa tidak ada gunanya. Dengan perkataan lain, mereka berpendapat manusia itu bebas menentukan diri sendiri memilih beramal baik dan buruk, karena mereka harus memikul resiko, dosa kalau berbuat munkar dan berpahala jika berbuat baik dan taat.
Sedangkan nama Jabariyah berasal dari kata Arab jabara yang berarti alzama hu bi fi’lih, yaitu berkewajiban atau terpaksa dalam pekerjaannya. Manusia tidak mempunyai kemampuan dan kebebasan untuk melakukan sesuatu atau meninggalkan suatu perbuatan. Sebaliknya ia terpaksa melakukan kehendak atau perbuatannya sebagaimana telah ditetapkan Tuhan sejak zaman azali. Dalam filsafat Barat aliran ini desebut Fatalism atau Predestination. 
Paham Jabariyah ini berpendapat bahwa qada dan qadar Tuhan yang berlaku bagi segenap  alam semesta ini, tidaklah memberi ruang atau peluang bagi adanya kebebasan manusia untuk berkehendak dan berbuat menurut kehendaknya. Paham ini menganggap semua takdir itu dari Allah. Oleh karena itu menurut mereka, seseorang menjadi kafir atau muslim adalah atas kehendak Allah. 
        Namun demikian, Jabariyah terbagi atas dua kelompok utama, yaitu:
1.    Jabariyah murni atau ekstrim,yang dibawa oleh Jahm bin Shafwān  paham fatalisme ini beranggapan bahwa perbuatan-perbuatan diciptakan Tuhan di dalam diri manusia, tanpa ada kaitan sedikit pun dengan manusia, tidak ada kekuasaan, kemauan dan pilihan baginya.  Manusia sama sekali tidak mampu untuk berbuat apa-apa, dan tidak memiliki daya untuk berbuat. Manusia bagaikan selembar bulu yang diterbangkan angin, mengikuti takdir yang membawanya. Manusia dipaksa, sama dengan gerak yang diciptakan Tuhan dalam benda-benda mati. Oleh karena itu manusia dikatakan “berbuat” bukan dalam arti sebenarnya, tetapi dalam arti majāzī atau kiasan. Seperti halnya “perbuatan” yang berasal dari benda-benda mati. Misalnya dikatakan: pohon berbuah, air mengalir,batu bergerak, matahari terbit dan terbenam, langit mendung dan menurunkan hujan, bumi bergerak dan menghasilkan tumbuh-tumbuhan, dan sebagainya. Selain itu, menurut mereka pahala dan dosa ditentukan sebagaimana halnya dengan semua perbuatan. Jika demikian, maka taklif atau pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab juga merupakan suatu paksaan.  Kalau seseorang mencuri atau minum khamr misalnya, maka perbuatannya itu bukanlah terjadi atas kehendaknya sendiri, tetapi timbul karena qada dan qadar Tuhan yang menghendaki demikian. Dengan kata lain bahwa ia mencuri dan meminum khamr bukanlah atas kehendaknya tetapi Tuhanlah yang memaksanya untuk berbuat demikian.
2.    Jabariyah moderat,  yang dibawa oleh al-Husain bin Muhammad al-Najjār. Dia mengatakan bahwa Allah berkehendak artinya bahwa Dia tidak terpaksa atau dipaksa. Allah adalah pencipta dari semua perbuatan manusia, yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah, tetapi manusia mempunyai andil dalam perwujudan perbuatan-perbuatan itu. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannnya. Dan inilah yang disebut dengan kasb.  Paham ini juga dibawakan oleh Dhirār bin ‘Amru. Ketika dia mengatakan bahwa perbuatan-perbuatan manusia pada hakikatnya diciptakan oleh Allah, dan manusia juga pada hakikatnya memiliki bahagian untuk mewujudkan berbuatannya. Dengan demikian, menurutnya bisa saja sebuah tindakan dilakukan oleh dua pelaku.
Paham moderat ini mengakui adanya intervensi manusia dalam perbuatannya. Karena manusia telah memiliki bahagian yang efektif dalam mewujudkan perbuatannya. Sehingga manusia tidak lagi seperti wayang yang digerakkan dalang. Menurut paham ini, Tuhan dan manusia bekerja sama dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan manusia.

B.    Latar Belakang Paham Jabariyah dan Qadariyah
Munculnya kedua paham ini tetap mempunyai kaitan dengan aliran-aliran Kalam sebelumnya yakni Khawārij dan Murji’ah, sementara itu muncul dalam sejarah teologi Islam seorang bernama Washil bin ‘Atha’ yang lahir di Madinah di tahun 700 M  dan mendirikan aliran teologi baru yang berbeda dengan kedua aliran teologi sebelumnya yang dikenal dengan nama Mu’tazilah. Pada masa inilah umat Islam telah banyak mempunyai kontak dengan keyakinan-keyakinan dan pemikiran-pemikiran dari agama-agama lain dan dengan filsafat Yunani. Sebagai akibat dari kontak ini masuklah ke dalam Islam paham Qadariyah (free will dan free act) dan paham Jabariyah atau fatalisme.
Tak dapat diketahui dengan pasti kapan paham Qadariyah ini timbul dalam sejarah perkembangan teologi Islam. Tetapi menurut keterangan ahli-ahli teologi Islam, bahwa golongan ini dimunculkan pertama kali dalam Islam oleh Ma’bad al-Juhany di Bashrah. Dikatakan bahwa yang pertama kali berbicara dan berdebat masalah qadar adalah seorang Nasrani yang masuk Islam di Irak.  Kemudian darinyalah paham ini diambil oleh Ma’bad al-Juhany dan temannya Ghailān al-Dimasyqi.  Ma’bad termasuk tabi’in atau generasi kedua setelah Nabi. Tetapi ia memasuki lapangan politik dan memihak ‘Abd al-Rahmān Ibn al-Asy’as, gubernur Sajistan, dalam menentang kekuasaan Bani Umayyah. Ma’bad al-Juhany akhirnya mati terbunuh dalam pertempuran melawan al-Hajjaj tahun 80 H. 
Paham Qadariyah yang muncul sekitar tahun 70 H (689 M) ini memiliki ajaran yang sama dengan Mu’tazilah. Yaitu bahwa manusia mampu mewujudkan tindakan atau perbuatannya sendiri. Tuhan tidak campur tangan dalam perbuatan manusia itu, dan mereka menolak segala sesuatu terjadi karena qada dan qadar. Ma’bad al-Juhany sebagai tokoh utama paham Qadariyah yang menyebarkan paham Qadariyah di Irak ini juga berguru dengan Hasan al-Bashri yang juga merupakan guru Wāshil bin ‘Atha’ pendiri aliran Mu’tazilah.
Paham free will dan free act beranggapan bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk bertindak (qudrah) dan memilih atau berkehendak (irādah). Dia yang melekukan, dia pula yang bertanggung jawab di hadapan Allah. Dari segi politik, Qadariyah merupakan tantangan bagi dinasti Bani Umayyah, sebab dengan paham yang disebarluaskannya dapat membangkitkan pemberontakan. Dengan paham itu maka setiap tindakan bani Umayyah yang negatif, akan mendapat reaksi keras dari masyarakat.  Karena kehadiran Qadariyah merupakan isyarat penentangan terhadap politik pemerintahan Bani Umayyah, walaupun ditekan terus oleh pemerintahan tetapi ia tetap berkembang. Paham ini tertampung dalam madzhab Mu’tazilah. 
Sepeninggal Ma’bad al-Juhany, Ghailān al-Dimasyqi sendiri terus menyiarkan paham Qadariyahnya di Damaskus, tetapi di sana dia mendapat tekanan dari Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azīz (717-720 M). Setelah ‘Umar wafat ia meneruskan kegiatannya yang lama, hingga akhirnya ia mati dihukum oleh Hisyam bin ‘Abdul malik (724-743 M/105-125 H).   Ghailān mengembangkan ajaran Qadariyah sempai ke Iran.
Adapun aliran sebaliknya, yaitu dikenal dengan paham Jabariyah sebagai antitesa dari paham Qadariyah. Paham Jabariyah ini lahir bersamaan dengan dikembangkannya paham Qadariyah oleh pengikut-pengikutnya setelah kedua tokoh paham free will ini wafat. Di dalam buku Sarh al-‘Uyūn dikatakan bahwa paham Jabariyah ini berakar dari orang-orang Yahudi di Syām, lalu mereka mengajarkannya kepada sebagian orang muslim saat itu, setelah mempelajarinya kemudian mereka menyebarkannya. Tetapi perkataan ini tidak berarti bahwa paham ini semata-mata berakar dari Yahudi saja, karena orang Persia juga telah mengenal pemikiran tersebut sebelumnya. 
Golongan muslim yang pertama kali memperkenalkan paham Jabariyah ini adalah al-Ja’d bin Dirham, tetapi waktu itu belum begitu berkembang. Kemudian Jahm bin Shafwān dari Khurāsān mempelajari paham ini dari al-Ja’d bin Dirham yang kemudian menyebar luaskannya. Jahm yang terdapat dalam aliran Jabariyah ini sama dengan Jahm yang mendirikan aliran al-Jahmiyyah dalam kalangan Murji’ah. Sehingga paham Jabariyah juga identik dengan sebutan Jahmiyyah karena berkembang setelah disebarluaskan oleh Jahm bin Shafwān. Sebagai sekretaris Syurayh ibn al-Hārits,  ia turut dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayyah. Dalam perlawanan tersebut Jahm ditangkap dan dihukum mati tahun 131 H.
Perbedaan pandangan dan persepsi kedua paham ini juga dipergunakan oleh budaya politik sesuatu tempat dan keadaan. Golongan Murji’ah menganggap bahwa penderitaan rakyat di satu pihak dan kekejaman penguasa di pihak lain itu adalah sudah takdirnya demikian, seperti dinyatakan oleh Yāzid bin Mu’āwiyah waktu dia menerima kepala Sayidinā Husain bin ‘Abi Thālib dibawa kepadanya dia berkata dan langsung menyitir ayat alquran QS. Ali ‘Imrān(3) ayat 26.  Dengan mengemukakan ayat ini, Yāzid bermaksud mengatakan bahwa apa yang diderita oleh Husain bin ‘Ali yang dibunuh dengan kejam oleh serdadu Yāzid bin Mu’āwiyah dari dinasti Umayyah itu, adalah sudah kehendak Tuhan, bukan kehendak Yāzid dan serdadunya. Agar umat yang mendukung Husain tidak marah atau dendam, karena itu “takdir” Tuhan semata-mata. Inilah ajaran Murji’ah yang sangat laku, di negeri yang dikuasai diktator despoot dan tirani. Hal ini ditentang oleh golongan Qadariyah, karena mereka menganggap bahwa tirani kekejaman dan penindasan oleh manusia atas manusia itu harus dilawan karena bertentangan dengan hukum Tuhan. Dan penguasa yang tiran harus ditumbangkan, karena Allah tidak akan mengubah suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.

C.    Argumen-argumen Paham Jabariyah dan Qadariyah
Baik Qadariyah maupun Jabariyah memiliki argumen-argumen yang dengan argumen tersebut, mereka mempertahankan paham dan aliran mereka masing-masing. Argumen-argumen tersebut ada yang berdasarkan nash-nash atau dalil-dalil naqli dan berbagai argumen yang bersifat rasional atau dalil-dalil ‘aqli.
Di antara ayat-ayat yang bisa membawa pada paham Qadariyah, misalnya:
 ))           ((
“Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir.” 
))          •       ((
“(Bukan demikian), yang benar: Barangsiapa berbuat dosa dan ia telah diliputi oleh dosanya, mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” 
 ))             
                ((
“Dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan Menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan Barangsiapa yang mengerjakan dosa, Maka Sesungguhnya ia mengerjakannya untuk (kemudharatan) dirinya sendiri. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
 ))          ((
“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”

 ))         ((
“Perbuatlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan.”
Di antara ayat-ayat yang bisa membawa pada paham Jabariyah, misalnya:
 ))                
 •     (( 
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”
)) •        ((
“Maka Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya.”


 ))     ((
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.”
 ))      ((
“Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah.”
 ))            ((
“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.”
Selain berbagai argumen teks, mereka juga menggunakan argumen-argumen rasio. Di antara dalil-dalil ‘aqli yang digunakan oleh paham Qadariyah, adalah:
Golongan Qadariyah yang menampakkan dirinya pada Mu’tazilah ini menerima kebebasan manusia dalam melakukan perbuatannya. Karena mereka bebas, maka tanggung jawab mereka pikul sendiri.
 Pemikiran kebebasan manusia berpokok pada ajaran keadilan Tuhan yang dianut Mu’tazilah. Mu’tazilah dikenal sebagai kaum rasionalis Islam. Mereka melihat dua bentuk perbuatan manusia, yakni kebaikan dan keburukan. Tuhan sendiri menjanjikan pahala bagi kebaikan dan siksaan bagi kejahatan. Kalau kedua bentuk itu berasal dari kebebasan manusia memilih, maka janji pahala dan siksa itu layak dan merupakan keadilan Tuhan.
Mereka beranggapan bahwa pendapat yang mengatakan bahwa Allah adalah yang menetapkan dan  yang menciptakan perbuatan manusia akan membawa pada prinsip fatalisme atau keterpaksaan dan bukan free will atau bebas dan dapat memilih. Ini menjadikan pengutusan Rasul-rasul menjadi suatu yang sia-sia tiada guna, sehingga tidak diperkenankan adanya taklif, tidak adanya dasar pemberian pahala dan siksa, janji dan ancaman, serta pujian dan celaan.
Mereka juga mengatakan bahwa tidak boleh Allah yang menciptakan perbuatan-perbuatan manusia, atau yang menginginkan setiap yang diperbuat manusia, karena kadang-kadang manusia berbuat zālim. Dan perbuatan zālim tidak diperkenankan berasal dari Allah SWT, dan Allah juga tidak mungkin menginginkan perbuatan zalim, karena Tuhan itu adil. Dan orang yang adil tidak mengerjakan kezaliman tidak pula menginginkan kezaliman. Di sini Qadariyah menganalogikan keadilan Tuhan dengan keadilan makhluk. Sebagaimana perbuatan zalim merupakan perbuatan buruk jika dilakukan oleh manusia, maka begitu pun ia adalah suatu keburukan pula jika berasal dari Allah SWT. Beginilah pendapat mereka.
Wāshil bin’Atha’ berkata tentang pokok ajaran keadilan Tuhan: “ Allah itu bijaksana dan Adil, keburukan dan kezaliman atau ketidak adilan tidak bisa dinisbahkan kepada-Nya. Dan Tuhan tidak bisa berkehendak kepada makhluk-Nya atas sesuatu yang bertentangan dengan apa yang Dia perintahkan kepada mereka. Dia tidak boleh menetapkan apa yang mereka kerjakan dan kemudian membalas mereka lantaran melakukan perintah itu. Oleh karena itu, manusia adalah pencipta kebaikan dan keburukan, keimanan dan kekufuran, kepatuhan dan pengingkaran, dan dialah yang akan bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatannya. Oleh karenanya, Tuhan telah menganugerahkan kemampuan kepada manusia atas itu semua.”
Andaikata perbuatan-perbuatan manusia terjadi dengan qudrat dan irādat-Nya, dapatlah disandarkan kepada Allah perbuatan-perbuatan manusia seperti sembahnyang, puasa, dusta, mencuri dan lain-lain. Maha Suci Allah daripada yang demikian. Dan tentulah Allah benci dan ridha pada perbuatan-Nya sendiri bukan perbuatan manusia.
Golongan Qadariyah juga mentakwilkan ayat-ayat al-Qur’an yang mereka dapati bertentangan dengan pendapat mereka, agar supaya ayat-ayat tersebut berjalan beriringan dengan apa pendapat mereka, minimal agar tidak menghantam madzhab mereka.  Di antara ayat yang secara jelas menyatakan bahwa Allah lah yang menciptakan segala sesuatu, baik atau buruk, dan terpuji atau tercela. Sebagaimana firman Allah dalam QS. al-An’ām (6): 102
 ))            ((
“(yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah Tuhan kamu; tidak ada Tuhan selain dia; Pencipta segala sesuatu.”
Ayat ini yang pada lahirnya bertentangan dengan paham Qadariyah mengharuskan madzhab Mu’tazilah untuk menggeser nash ini dari makna lahirnya dan mentakwilkannya dengan sesuatu yang dapat diterima akal sehat atau sesuatu yang rasional yang sesuai dan mendukung madzhab yang dianutnya. Sebagaimana dijelaskan oleh ‘Abdul Jabbār seorang hakim yang beraliran Mu’tazilah, bahwa makna zāhir ayat ini tidak boleh digunakan menurut kesepakatan, karena Allah SWT adalah termasuk dari sesuatu, dan Dia tidak menciptakan diri-Nya sendiri, maka tidak boleh bergantung pada makna lahir ayat ini. Ayat ini juga dikeluarkan dalam konteks pemberian pujian, dan tidak mungkin ada pujian jika dikatakan Allah yang menciptakan perbuatan-perbuatan manusia yang mana dalam perbuatan manusia itu ada kekufuran, pengingkaran dan ketidak adilan, maka tidak pantas untuk menggunakan makna zahir ayat ini, sehinga ayat ini perlu ditakwilakan. Jadi yang dimaksud ayat ini adalah bahwa Allah Pencipta segala sesuatu maksudnya mayoritas sesuatu bukan segala sesuatu, seperti dalam firman Allah dalam kisah ratu Balqis dalam QS. al-Naml (27): 23
 ))      ((
“Dan dia dianugerahi segala sesuatu.”
Dalam ayat ini dinyatakan segala sesuatu, sedangkan pada kenyataannya dia tidak diberi banyak sesuatu.
Sebagaimana Qadariyah, paham jabariyah juga menggunakan argumen-argumen rasional untuk mempertahankan pendapat yang dianutnya, di antara dalil-dalil ‘aqli yang mereka gunakan ialah:
Sekiranya manusia menciptakan perbuatan-perbuatannya sendiri dengan kemampuan yang dimilikinya berdasarkan kemauannya sendiri, tentulah perbuatan-perbuatan itu bukan dengan kehendak Allah dan kekuasaann-Nya. Karena mustahil berpautan dua kehendak dengan satu perbuatan dan menjadikan kekuasaan Allah terbatas. Dan Allah mempunyai sekutu dalam perbuatan-Nya. Hal ini tidak sesuai dengan kebesaran Allah SWT. Padahal kesempurnaan-Nya adalah mutlak.
Jika dianggap manusia adalah pelaku yang mempunyai daya pilih apa yang disukai, tentulah ilmunya meliputi segala perincian apa yang dibuatnya, sedang Allah berfirman QS al-Mulk (67): 14
 ))    ((
“Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan)”
Maka kalau manusia menciptakan segala perbuatannya dengan ikhtiarnya, tentulah dia mengetahui perincian dari perbuatan-perbuatannya itu; dia mengetahui apabila dia melangkah apa yang akan terjadi dari langkahnya itu?, dan dia mengetahui mengapa kakinya bergerak? Dan seterusnya. Akan tetapi manusia tidak mengetahui perincian itu. Kalau demikian, tidaklah manusia dikatakan mukhtār dalam perbuatannya.
Segala perbuatan hanya dinisbatkan atau disandarkan kepada yang melaksanakannya bukan kepada yang menciptakannya. Sesungguhnya Allah menciptakan warna dan Allah sendiri tidak bersifat dengan warna-warna itu. Yang bersifat dengan warna ialah tempat warnanya itu. Masalah taklif, pahala dan siksa tidaklah tunduk kepada aturan-aturan yang dengan aturan itu kita analogikan kepada perbuatan-perbuatan kita. Aturan-aturan itu berada di atas pengertian kita dan Allah tidak ditanyakan tentang perbuatan-Nya.
Berbagai argumen yang dapat diterima akal sehat saling bertentangan. Berbagai ayat yang pada lahirnya saling bertentangan. Adalah tidak mengherankan kalau umat Islam mempertanyakan bagaimana sebenarnya perbuatan manusia itu, meskipun para pioner masing-masing paham Qadariyah dan Jabariyah yang pertama telah wafat. Di satu segi, manusia tampaknya memiliki hak memilih dan dituntut pertanggung jawaban atas setiap perbuatannya, baik atau jelek. Sementara itu harus diyakini bahwa Tuhan Maha Kuasa karena pencipta segala makhluk.
Dalam sejarah teologi Islam, selanjutnya paham Qadariyah dianut oleh golongan Mu’tazilah sedang paham Jabariyah, meskipun tidak identik dengan paham yang dibawa oleh Jahm bin Shafwān atau dengan pahan yang dibawa al-Najjār dan Dirār, terdapat dalam aliran al-Asy’ariyah.
   
III.    KESIMPULAN
Paham Qadariyah dan Jabariyah adalah paham yang menekankan atau berbicara tentang eksistensi perbuatan manusia.
Teologi fatalisme menekankan pada ketidakbebasan manusia dalam kehendak dan perbuatan, Sedangkan teologi free will sebaliknya, yaitu manusia bebas dalam berkemauan dan berbuat. Dalam menggunakan dalil-dalil naqli fatalism lebih terikat pada arti tekstual dari alquran dan Hadits, sedangkan free will mengambil arti metaforis atau majazi dari teks wahyu. Paham Qadariyah menempatkan rasio pada kedudukan yang tinggi, sedang Jabariyah sebaliknya.
Itulah sebabnya kedua paham ini sangat kontradiktif terutama antara paham Qadariyah ekstrim yang dipelopori oleh Ma’bad al-Juhani dan Ghailān al-Dimasyqi dan paham Jabariyah ekstrim yang diperkenalkan oleh al-Ja’d bin Dirhan dan dikembangkan oleh Jahm bin Shafwān.


  











   
   



PERBANDINGAN ALIRAN KALAM

PERBANDINGAN ALIRAN KALAM
BAB I
 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk yang berakal, berakal berarti berpikir, berpikir berarti bertanya, bertanya berarti mencari jawaban, dan mencari jawaban berarti mencari kebenaran. Dalam proses pencarian kebenaran perbedaan pendapat adalah suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Semakin jauh orang melangkah dalam civilisasi dan kebudayaan, semakin jauh pula perbedaan itu, sehingga memunculkan aliran-aliran dalam filsafat, sosial, ekonomi, dan sebagainya.
Di kalangan kaum muslimin telah terjadi perbedaan pendapat dalam mempelajari ilmu Kalam  sehingga melahirkan berbagai mazhab dalam aspek-aspek i'tiqad, politik dan fiqh.
Pasca wafatnya Rasulullah saw. Abu Bakar terpilih menjadi khalifah pertama kemudian dilanjutkan oleh Umar bin Khattab sebagai khalifah kedua. Ketika Usman bin Affan menjadi khalifah ketiga, benih-benih kekacauan mulai muncul baik secara fisik maupun non fisik dan semakin membesar pada masa Ali bin Abi Thalib memimpin umat Islam sebagai khalifah keempat kemudian muncullah beberapa paham yang berbicara tentang persoalan kepemimpinan (politik) yang dirangkai dengan persoalan Aqidah.
Persoalan-persoalan politik yang terjadi di dalam  lapangan politik inilah yang akhirnya membawa kepada timbulnya persoalan-persoalan teologi. Timbullah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir dalam arti siapa yang telah keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap dalam Islam.
Dimulai dengan pendapat Khawarij tentang orang yang berbuat dosa, sampai pada pemahaman-pemahaman tentang ketuhanan dapat melahirkan paham-paham dan aliran-aliran seperti Murjiah, Qadariyah, Jabariyah, Mu'tazilah, Asy'ariyah dan Maturidiyah yang dapat memperkaya khazanah kehidupan Umat tentang aqidah dan persoalan-persoalan yang masih menyelimuti umat.
Untuk itu penulis mencoba menelusuri salah satu sub bagian dalam ilmu Kalam tentang perbandingan aliran-aliran serta ajaran-ajarannya. Sehingga dari perbandingan aliran tersebut kita mampu memahami, menelaah, membandingkan antar paham aliran satu dengan yang lainnya.

B. Rumusan Masalah
Dari pemaparan latar belakang diatas, maka yang akan menjadi rumusan masalah yaitu:
1.    Bagaimana perbandingan pemahaman aliran tentang iman dan kufur?
2.    Bagaimana perbandingan pemahaman aliran tentang akal dan wahyu?
3.    Bagaimana perbandingan pemahaman aliran tentang perbuatan Tuhan?
4.    Bagaimana perbandingan pemahaman aliran tentang perbuatan manusia?
5.    Bagaimana perbandingan pemahaman aliran tentang kalam Allah?
6.    Bagaimana perbandingan pemahaman aliran tentang tajassum?
7.    Bagaimana perbandingan pemahaman aliran tentang melihat Tuhan?






BAB II
PEMBAHASAN
A. Iman dan Kufur
Persoalan iman dan kufur adalah dua hal yang menjadi agenda utama lahirnya teologi Islam. Iman didefinisikan sebagai keyakinan terhadap Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-Nya, hari kiamat.   
Iman dalam pengertian bahasa berasal dari bahasa Arab yaitu kata amanah yang mempunyai dua makna. Makna pertama berarti amanah lawan kata dari khianat, makna kedua berarti  tasdiq, yaitu pembenaran.  Sedangkan Kufur jamak dari kafara yaitu lawan kata dari iman. Dinamakan demikian karena menutup kebenaran.
     Istilah iman berkonotasi positif, sedangkan kufur berkonotasi negative. Secara Umum, Iman mempunyai pengertian percaya kepada Allah, malaikat-malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul, hari kiamat, dan qadar baik dan Buruk . Sedangkan kufur mengandung indikasi makna tidak percaya kepada Allah dan kerasulan Nabi Muhammad saw, atau pembawa ajaran agama yang bersumber dari Allah swt . Dengan demikian orang yang pertama disebut mukmin, sedangkan pada golongan kedua disebut kafir.
Beberapa pandangan aliran teologi Islam tentang permasalahan ini antara lain:
1. Khawarij
Iman menurut pandangan Khawarij tidak semata-mata percaya kepada Allah. Mengerjakan segala perintah kewajiban agama juga merupakan bagian dari keimanan. Dengan demikian, siapapun yang menyatakan dirinya beriman kepada Allah dan bahwa Muhammad adalah rasulnya, tetapi tidak melaksanakan kewajiban agama dan malah melakukan perbuatan dosa, ia dipandang kafir oleh Khawarij.
Golongan khawarij asli dan terdiri atas pengikut-pengikut ali, disebut golongan al-Muhakkimah. Bagi mereka Ali, Muawiyah, kedua pengantara  Amru Ibnu Ash, Abu Musa al-Asy'ari dan semua pengikut yang menyetujui arbitrase bersalah dan menjadi kafir.  Dosa-dosa besar seperti zina, oleh golongan ini dianggap sebagai perbuatan yang membawa kepada kekafiran, demikian pula perbuatan-perbuatan dosa besar lainnya.
Subsekte Azariqah lebih ekstrim dibanding dengan sekte al-Muhakkimah dengan anggapan hanya merekalah yang beragama Islam dan diluar dari golongannya itu kafir dan masuk neraka. Lebih ekstrim lagi  mereka tidak lagi memakai term kafir, tetapi term musyrik atau polytheist. 
Golongan Najdah, berlainan dengan kedua golongan di atas, berpendapat bahwa orang berdosa besar yang menjadi kafir dan dalam neraka hanyalah orang Islam yang tak sepaham dengan golongannya. Adapun pengikutnya jika mengerjakan dosa besar dinamakan kafir nikmah bukan kafir al-din, betul akan mendapat siksaan dalam neraka, dan kemudian akan masuk surga . Namun secara umum, semua Aliran Khawarij sepakat atas paham takfir al-mua'yyan (berani mengkafirkan seseorang secara langsung).
2. Murjiah
Harun Nasution dan Abu Zahrah membedakan Murjiah menjadi dua kelompok utama, yaitu Murjiah  moderat (Murjiah sunnah) dan murjiah ekstrim (murjiah bid’ah).  Golongan moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya, dan ada kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya dan oleh karena itu tidak akan masuk neraka sama sekali.
 Salah satu sekte dalam Murjiah yaitu Yunusiyah  berpendapat bahwa  iman adalah pengenalan kepada Allah dengan menaati-Nya, meninggalkan keinginan dan rencana (pribadi) serta menyerah segala-galanya kepada Allah dengan penuh hati.  Barang siapa yang mempunyai kualitas ini, ia adalah seorang mukmin. Tindakan-tindakan ketaatan selain ini tidak membentuk bagian iman dan tidak melaksanakannya tidaklah merusak esensi iman.
Di antara golongan ekstrim yang dimaksud oleh Harun Nasution adalah al-Jahmiyah, pengikut-pengikut Jahm Ibn Safwan . Golongan ini mendakwahkan bahwa manusia yang percaya pada Tuhan dan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan tidaklah menjadi kafir, karena iman dan kufur tempatnya hanyalah dalam hati.
3. Mu'tazilah
Status pelaku dosa besar apakah masih beriman atau telah kafir adalah salah satu sebab lahirnya paham mu’tazilah. Pelaku dosa besar bagi Khawarij adalah kafir, bagi Murjiah tetap mukmin dan tidak kafir. Sedangkan Mu'tazilah tidak menentukan status dan predikat yang pasti bagi pelaku dosa besar apakah tetap mukmin atau telah kafir, kecuali dengan sebutan yang sangat terkenal al-manzilah bain al-manzilatain. Setiap pelaku dosa besar, menurut Mu'tazilah menempati posisi tengah di antara posisi mukmin dan posisi kafir yang disebut dengan istilah fasik. Jika meninggal dunia sebelum bertobat, ia akan dimasukkan ke dalam neraka selama-lamanya. Namun, siksaan yang bakal diterimanya lebih ringan dari pada siksaan orang kafir.   
Iman bukanlah tasdiq bagi mu’tazilah. Iman dalam arti mengetahuipun belumlah cukup. Menurut 'Abd al-Jabbar, orang yang tahu Tuhan tetapi melawan kepadanya, bukanlah orang mukmin. Dengan demikian iman bagi mereka bukanlah tasdiq, bukan pula ma'rifah, tetapi amal yang timbul sebagai akibat dari mengetahui Tuhan. Tegasnya iman bagi mereka adalah pelaksanaan perintah-perintah Tuhan.
4. Asy'ariyah
     Akal dan wahyu bagi kaum Asy'ariyah memiliki porsi yang berbeda untuk mengetahui kewajiban mengetahui Tuhan. Untuk mengetahui kewajiban diperlukan wahyu. Oleh karena itu iman secara esensial adalah tasdiq.  Batasan iman, sebagaimana diberitakan al-Asyari ialah tasdiq bi Allah.
Paham Mu'tazilah mengatakan apabila pembuat dosa besar tidak bertaubat dari dosanya itu, meskipun ia mempunyai iman dan ketaatan, tidak akan keluar dari neraka. Aliran Murjiah mengatakan siapa yang iman kepada Tuhan dan mengikhlaskan diri kepadanya, maka bagaimanapun besar dosa yang dikerjakannya, namun tidak akan mempengaruhi kesempurnaan imannya, datanglah al-Asy'ari mengatakan bahwa orang mukmin  yang mengesakan Tuhan tetapi fasik, terserah kepada Tuhan, apakah akan diampuninya dan langsung masuk surga ataukah dijatuhi siksa karena kefasikannya tetapi kemudian dimasukkannya ke dalam surga.
5. Maturidiyah
Khawarij dan Mu'tazilah memasukkan amal sebagai salah satu komponen iman, sedangkan Asyariyah dan Maturidiyah tidak menganggap amal sebagai salah satu komponennya. Oleh karena itu orang yang melakukan dosa besar tidak keluar dari iman, sekalipun amalnya tetap dihisab dan ia akan mendapat siksa, serta Allah dapat saja mencurahkan rahmat kepadanya, itulah sebabnya al-Maturidi berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak kekal di neraka, sekalipun ia meninggal dunia tanpa bertaubat. 
Aliran Maturidiyah samarkand  berpendapat bahwa iman adalah Tasdiq bi al-Qalb, bukan semata-mata iqrar bi al-Lisan.
B. Akal dan Wahyu
Kata ’Aql dalam bahasa arab mempunyai beberapa arti, diantaranya: Ad-diyah (denda), al-hikmah (kebijakan), husnut tasharruf  (tindakan yang baik atau tepat). Secara terminologi, ‘aql (selanjutnya ditulis akal).  Menurut Muhammad Abduh akal adalah suatu daya yang hanya dimiliki manusia, dan oleh karena itu dialah yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Akal adalah tonggak kehidupan manusia dan dasar kelanjutan hidupnya.
Wahyu secara kebahasaan memiliki banyak arti yang berbeda. Diantaranya adalah, isyarat, tulisan, perkataan, pesan. Menurut abu ishak wahyu dalam dalam semua bahasa adalah pemberitahuan secara rahasia. 
1.  Mu'tazilah
Aliran Mu'tazilah sebagai penganut pemikiran kalam rasional berpendapat bahwa akal mempunyai kemampuan mengetahui keempat hal tersebut di atas, kepercayaan mereka terhadap akal hanya dibatasi oleh penghormatan mereka terhadap perintah-perintah syara'. Setiap masalah yang timbul dihadapkan kepada akal, yang dapat diterima akal mereka akui, dan yang tidak dapat diterima akal, mereka tolak.
Mu’tazilah banyak dipengaruhi dan mengambil landasan pemikiran filsafat Yunani, sehingga  mereka percaya akan kekuatan dan kesanggupan akal untuk mengetahui segala sesuatu dan memperbandingkannya satu sama lain, dan salah satu hasilnya ialah hukum mereka yang terkenal, yaitu: "al-Fikru Qabla Wurûdi al-Syar'I" maksudnya, akal pikiran harus didahulukan dari pada syara'.
Dalam permasalahan ini Abu al-Huzail dengan tegas mengatakan bahwa sebelum turun wahyu, orang telah berkewajiban mengetahui Tuhan, dan jika ia tidak berterima kasih kepada Tuhan, orang sedemikian akan mendapat hukuman. Baik dan jahat menurut pendapatnya, juga dapat diketahui dengan perantaraan akal dan dengan demikian orang wajib mengerjakan yang baik.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kaum Mu'tazilah berpendapat bahwa keempat masalah pokok tersebut dapat diketahui dengan akal. Tampak, bahwa Mu'tazilah memberi peran yang sangat penting bagi akal, bahkan wahyu di mata mereka adalah bentuk pengetahuan yang benar-benar kehilangan landasan rasional sehingga perlu dibantu akal.
2. Asy'ariyah
Persoalan akidah Asy’ariyah menggunakan dalil naqli dan aqli, hal yang bertalian dengan sifat-sifat Tuhan, rasul-Nya, hari akhir, perhitungan amal dan dosa. Ia menggunakan dalil rasional dan logika dalam membuktikan kebenaran apa yang terkandung dalam al-Quran dan sunnah, setelah ia membuktikan kebenarannya melalui dalil naqli.
Menurut al-Baghdadi akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi tidak dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, karena segala kewajiban dapat diketahui hanya melalui wahyu.
     Al-Ghazali juga berpendapat bahwa akal tak dapat membawa kewajiban-kewajiban bagi manusia, kewajiban-kewajiban ditentukan oleh wahyu. Dengan demikian, kewajiban kewajiban mengetahui Tuhan dan kewajiban berbuat baik dan menjauhi yang jahat hanya dapat diketahui dengan perantaraan wahyu.
Adapun soal mengetahui Tuhan, maka uraian al-Ghazali bahwa wujud Tuhan dapat diketahui melalui pemikiran tentang alam yang bersifat dijadikan.
3. Maturidiyah
Pemikiran teologinya, al-Maturidi mendasarkan pada Alquran dan akal. Dalam hal ini, ia sama dengan al-Asyari'. namun, porsi yang diberikannya kepada Akal lebih besar dari pada yang diberikan oleh al-Asy'ari.
Dalam persoalan ini al-Maturidi sepaham dengan Mu'tazilah, bahwa akal dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan. akan tetapi meskipun akal  semata-mata sanggup mengetahui Tuhan, namun ia tidak sanggup mengetahui hukum-hukum taklifi(perintah perintah tuhan), dan pendapat terakhir ini berasal dari Abu Hanifah. 
Maturidiyah berpendapat bahwa segala sesuatu dapat dinilai baik atau buruk dari berdasarkan substansinya. Demikian bagi Maturidiyah akal dapat mengetahui adanya Tuhan, kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, dan mengetahui baik dan buruk tetapi akal tidak dapat mengetahui kewajiban berbuat baik dan meninggalkan buruk karena itu wahyu sangatlah diperlukan untuk menjelaskannya.
Pendapat Maturidiyah diatas diterima oleh pengikutnya disamarkand. Adapun pengikut-pengikutnya di bukhara mereka mempunyai paham yang berlainan sedikit, perbedaan tersebut berkisar sekitar persoalan kewajiban mengenai Tuhan.
Kaum  maturidiyah bukhara tidak sepaham dengan Samarkand, bagi mereka hanya pengetahuan-pengetahuan yang dapat diperoleh akal. Adapun kewajiban-kewajiban, itu wahyulah yang menentukannya. Jadi yang dapat diketahui akal hanya dua dari empat masalah, yaitu adanya tuhan dan kebaikan serta kejahatan.
C. Perbuatan Tuhan
Semua aliran dalam pemikiran kalam berpandangan  bahwa Tuhan juga melakukan perbuatan. Perbuatan di sini dipandang sebagai konsekuensi logis dari zat yang memiliki kemampuan untuk melakukannya. Namun yang menjadi polemik dikalangan mutakallimin adalah apakah perbuatan tuhan itu terbatas pada hal-hal yang baik saja, tetapi juga mencakup kepada hal-hal yang buruk.
Ada tiga  aliran besar yang mengutarakan pendapatnya dalam permasalahan ini yaitu:


1. Mu' tazilah
Mu'tazilah sebagai aliran kalam yang bercorak rasional, berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanyalah terbatas pada hal-hal yang dikatakan baik. Ini tidak berarti bahwa tuhan tidak mampu melakukan perbuatan buruk. Tetapi perbuatan buruk tidak ia lakukan karena tuhan mengetahui keburukan perbuatan buruk itu. Malah didalam alquran jelas-jelas dikatakan bahwa tuhan tidaklah berbuat zalim. Ayat-ayat al quran yang dijadikan dalil oleh mu'tazilah untuk mendukung pendapat diatas adalah Q.S al-Anbiya 21:23 dan Q.S al-Rum 30:8 yaitu:
     
Terjemahan:
"Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai".
  •         
Terjemahan:
"Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar"
Maka pernyataan alquran ini sejalur dengan term yang dipergunakan oleh mu'tazilah al-Salah wa al-Aslah.
Pandangan mu'tazilah mengenai al-Salah dan al-Aslah bahwa sesungguhnya Allah melakukan suatu perbuatan dengan tujuan untuk memberikan manfaat kepada hambanya. Dan sungguh suatu kewajiban bagi Allah berbuat baik dan terbaik bagi hambanya.,
Konsekuensi dari paham Salah wal al-Aslah ini memunculkan paham kewajiban Allah sebagai berikut  :
1.    kewajiban tidak memberikan beban diluar kemampuan manusia
2.    kewajiban mengirim rasul
3.    kewajiban menepati janji (al-Wa'd) dan Ancaman (al-Wa'id)
2. Asya'riyah
Berbeda dengan mu'tazilah, bagi kaum Asy'ariyah persoalan al-Salah dan al-Aslah tak dapat diterima, karena bertentangan dengan faham kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan. Hal  ini ditegaskan oleh al-Ghazali ketika mengatakan bahwa tuhan tidak berkewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia. Menurut al-Ghazali  perbuatan-perbuatan Tuhan bersifat tidak wajib (ja'iz) dan tidak satupun dari padanya yang mempunyai sifat wajib. Tuhan, sekali-kali tidak mempunyai kewajiban terhadap hambanya. 
3. Maturidiyah
al-Maturidiyah mempunyai pandangan berbeda dari kedua pandangan aliran diatas. Ia berpendapat bahwa Allah Maha Suci dari berbuat secara main-main. Segala perbuatan senantiasa sesuai dengan kebijaksanaannya, dan karena dia Maha Bijaksana serta Maha Mengetahui sebagaimana Dia telah mensifati diriNya dengan sifat-sifat itu. Ketika menentukan hukum Taklif dan melakukan segala perbuatannya yang berkaitan dengan penciptaan, Allah menghendaki dan memaksudkan semua itu atas dasar hikmah tersebut. Sehingga tidak ada yang memaksa kehendaknya, karena dia sepenuhnya bebas memilih. Jadi, berdasarkan hal itu tidaklah tepat dikatakan bahwa Allah berkehendak melakukan yang baik dan yang terbaik, karena kewajiban itu menafikan kehendak dan menandakan bahwa selain Allah ada yang berhak atas diri-Nya. 

D. Perbuatan Manusia  
Masalah perbuatan manusia bermula dari pembahasan sederhana yang dilakukan oleh kelompok Jabariyah dan kelompok qadariyah, yang kemudian dilanjutkan dengan pembahasan yang lebih mendalam oleh aliran Mu'tazilah, Asy'ariyah, dan Maturidiyah.
Beberapa pandangan dari aliran tersebut sebagai berikut:
1. Mu'tazilah
Kaum Mu'tazilah dalam sistem teologi mereka manusia dipandang mempunyai daya yang besar lagi bebas, sudah barang tentu menganut paham qadariyah atau free will. Dan memang mereka juga disebut kaum qadariyah. Pula keterangan-keterangan dan tulisan-tulisan para pemuka mu'tazilah banyak mengandung paham kebebasan dan berkuasanya manusia atas perbuatan-perbuatannya.
     Menurut al-Jubba'I dan Abd al-Jabra bahwa manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya. Dan daya (al-istitha'ah) untuk mewujudkan kehendak yang terdapat dalam diri manusia sebelum adanya perbuatan. 
2. Asya'riyah
Al-Asya'riyah berpendapat bahwa manusia dan perbuatannya adalah makhluk Allah, baik dan buruknya adalah tuhan yang menjadikannya. Sebagaimana firman Allah dalam Q,S as-Shaffat ayat 96: "Berkata Ibrahim: Patutkah kamu menyembah patung-patung yang kamu perbuat dari batu-batu? Allah menjadikan kamu dan apa-apa yang kamu perbuat."
Dalam menggambarkan hubungan perbuatan manusia dan iradat Tuhan, Asy'ari menggunakan Teori Kasb yaitu segala sesuatu terjadi dengan perantaraan daya yang diciptakan dan dengan demikian menjadi perolehan atau kasb bagi orang yang dengan dayanya perbuatan itu timbul. artinya apabila seseorang ingin melakukan sesuatu perbuatan, perbuatan itu baru terlaksana jika sesuai dengan kehendak Tuhan.
3. Maturidiyah
Ada perbedaan antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara mengenai perbuatan manusia. Kelompok pertama lebih dekat dengan faham Mu'tazilah, sedangkan kelompok kedua lebih dekat dengan faham Asy'ariyah. Kehendak dan daya berbuat pada diri manusia, menurut Maturidiyah Samarkand adalah kehendak dan  daya manusia  dalam arti kata sebenarnya, dan bukan dalam arti kiasan. Perbedaanya dengan Mu'tazilah adalah bahwa daya untuk berbuat tidak diciptakan sebelumnya, tetapi bersama-sama dengan perbuatannya. Daya yang demikian porsinya lebih kecil daripada daya yang terdapat dalam faham Mu'tazilah. Oleh karena itu, manusia dalam faham al-Maturidiyah, tidaklah sebebas manusia dalam Mu'tazilah.
Maturidiyah Bukhara dalam banyak hal sependapat dengan Maturidiyah Samarkand. Hanya saja golongan ini memberikan tambahan dalam masalah daya. Menurutnya untuk perwujudan perbuatan perlu ada dua daya. Manusia tidak mempunyai daya untuk melakukan perbuatan, hanya Tuhanlah yang dapat mencipta, dan manusia hanya dapat melakukan perbuatan yang telah diciptakan tuhan baginya.

E. Kalamullah
Mengenai Kalam Allah atau sabda Tuhan atau tegasnya al-Qur’an persoalannya dalam teologi ialah: kalau  sabda merupakan sifat, sabda mesti kekal, tetapi sebaliknya sabda Adalah tersusun dan oleh karena itu mesti diciptakan dan tak bisa kekal. Oleh karena itu, nampaklah beberapa argumen dari beberapa aliran tentang permasalahan ini yaitu:
1. Mu'tazilah
Kaum mu'tazilah menyelesaikan persoalan ini dengan mengatakan bahwa sabda Tuhan bukanlah sifat tetapi perbuatan Tuhan. Dengan demikian alquran bukanlah bersifat kekal tetapi bersifat baharu dan diciptakan Tuhan. Argumen mereka, alquran tersusun dari bagian-bagian berupa ayat dan surat, ayat yang satu mendahului yang lain dan surat yang satu mendahului yang lain pula. Adanya pada sesuatu, sifat terdahulu dan sifat datang kemudian, membuat sesuatu itu tidak bisa bersifat qadim, yaitu tak bermula, karena yang tak bermula tak didahului oleh apapun. Dalil naqli yang dipegangi Mu'tazilah terdapat dalam Q.S. Hud (11):1.
2. Asyariyah
Golongan Asy'ariyah sepakat bahwa sabda adalah sifat dan sebagai sifat Tuhan mestilah kekal. Susungguhnya al-Qur’an kalam Allah bukan Makhluk. Salah seorang tokoh golongan Asyariyah yaitu al-Juwaini menjelaskan bahwa kalam Allah dibedakan menjadikan dua, yakni al-Kalam al-Nafsiy al-Qadim adalah kalam dalam artian abstrak, apa yang dipahami dari tulisan, ada pada zat Tuhan. Ia bersifat qadim dan azaliy serta tidak berubah-ubah denga adanya perubahan ruang, waktu, dan tempat. Maka alquran sebagai kalam Tuhan dalam artian ini bukanlah makhluk. Al-kalam al-Lafdzi al-Hadỉts adalah yang dapat ditulis, dibaca, dan disuarakan oleh makhlukNya, yaitu al-Qur’an yang dapat dibaca sehari-hari. Maka kalam dalam artian ini bersifat hadits (Baru) dan termasuk makhluk.
3. Maturidiyah
Golongan  Maturidiyah sependapat dengan golongan Asyariyah dalam hal kalam Tuhan, al-Maturidi membedakan antara sabda yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau makna abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf-huruf dan kata-kata adalah baharu (hadits). 

F. Tajassum
Tajassum adalah sebuah paham yang menyamakan wujud Tuhan dengan makhluk, Penganut paham inilah yang disebut dengan kelompok mujassimah atau musyabbihah.
Beberapa pemikiran aliran berkenaan tentang tajassum yaitu:
1. Mu'tazilah
Sebagai aliran yang berpegang teguh pada kekuatan akal dan mencoba menyelesaikan persoalan ini dengan mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Karena Tuhan bersifat immateri, sehingga tuhan tidak memiliki sifat-sifat jasmani. Adapun ayat-ayat yagn mengarah kepada hal tersebut harus diberi interpretasi lain. Misalnya kata al-Arsy (tahta kerajaan) diberi interpretasi kekuatan, al-Ain (mata) diartikan pengetahuan, al-wajh (muka) diartikan esensi, dan al-yad (tangan) adalah kekuasaaan.
2. Asy'ariyah
Asy'ariyah berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani namun berbeda dengan sifat-sifat jasmani manusia, meskipun demikian alquran menyebutkan tuhan mempunyai mata, muka, tangan, dan sebagainya itu tidak sama dengan yang ada pada manusia. Mereka berpandapat bahwa kata-kata ini tidak boleh diberi intrepretasi lain. Seperti kata al-Asyari, Tuhan mempunyai dua tangan, tetapi itu tak boleh diartikan rahmat atau kekuasaaan Tuhan.
Untuk itu alquran mengatakan bahwa tuhan mempunyai tangan dan manusia harus menerima itu, kalau manusia tak dapat mengetahuinya, itu berarti karena Tuhan Maha Kuasa dan dapat mempunyai bahkan juga menciptakan hal-hal yang tak dapat diselami akal manusia yang lemah.
3. Maturidiyah
Kaum Maturidiyah golongan bukhara dalam hal ini tidak sepaham dengan kaum Asy'ariyah. Tangan Tuhan menurut al-Bazdawi adalah sifat dan bukan anggota badan tuhan, yaitu sifat sama dengan sifat lain seperti pengetahuan, daya dan kemauan.
Sementara maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tangan, muka, mata dan kaki adalah kekuasaan Tuhan. Tuhan tidak mempunyai badan, sungguhpun tidak sama dengan badan jasmani, karena badan tersusun dari substansi dan accident (jauhar dan ard). Manusia berhajat pada anggota badan karena tanpa anggota badan manusia menjadi lemah, adapun Tuhan tanpa anggota badan ia tetap Maha Kuasa.
G. Melihat Allah
Persoalan Melihat Tuhan adalah salah satu pembahasan menarik dalam perdebatan aliran-aliran Kalam. Beberapa pandangan aliran kalam sebagai berikut:
1. Mu'tazilah
Mu'tazilah sebagai aliran kalam yang mendahulukan akal dari pada Wahyu berargumen bahwa Tuhan karena bersifat Immateri, tidak dapat dilihat dengan mata kepala karena beberapa landasan akal dan naql yaitu:
1.    Kalau Tuhan bisa dilihat maka dia mempunyai sudut dari pandangan, berarti kalau dia mempunyai sudut maka dia mempunyai tempat hal ini adalah Mustahil bagi Allah.
2.    Pernyataan di dalam Alquran  kepada Musa   menunjukkan mustahil bahwa Allah Mustahil dilihat.
3.    Firman Allah dalam QS al-An'am 6:103:
          

Terjemahan:
 "Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan dialah yang Maha halus lagi Maha Mengetahui".
Mu'tazilah mengatakan bahwa makna idrak didalam ayat ini berarti ru'yah (melihat), ini menunjukkan bahwa ia tidak dapat dilihat.
2. Asya'riyah
Bertentangan dengan pendapat Mu'tazilah di atas, kaum Asy'ariyah mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat kelak dengan mata kepala.
Pendapat ini berdasarkan dalil-dalil yang dikemukakan imam al-Ghazali yaitu:
1.    Secara akal menyatakan bahwa segala sesuatu yang berwujud dapat dilihat, Allah itu wujud dan semua yang wujud boleh dilihat maka kesimpulannya bahwa Allah dapat dilihat.
2.    Ayat-ayat didalam Alquran yang dijadikan sandaran Asy'ari dalam menopang pendapatnya adalah Q.S. al-Qiyamah, 75:22-23 sebagai berikut:
        
Terjemahan:
"Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri.  Kepada Tuhannyalah mereka Melihat."
Kaum Mu'tazilah menafsirkan kata  pada ayat ini bukanlah berarti memandang wajah  Tuhan, tetapi menunggu balasan pahala yang akan diberikan Tuhan. Akan tetapi dibantah oleh Asyari' bahwa makna adalah berarti melihat Tuhan. Karena kalau kata diartikan menunggu akan tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Karena dalam kaidah bahasa Arab kata menunggu tidak menggunakan kata   , seperti dalam Q.S. Yasin 36:49
        

Terjemahan:
"Mereka tidak menunggu melainkan satu teriakan saja, yang akan membinasakan mereka ketika mereka sedang bertengkar."
Dan beberapa ayat dalam alquran berkenaan tentang melihat Allah seperti dalam surah al-A'raf(7) ayat 143 dan surah yunus (10) ayat 26.
3. Maturidiyah
Maturidiyah Samarkand sejalan dengan Asy'ariyah dalam hal Tuhan dapat dilihat. Sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Maturidi bahwa melihat Tuhan itu merupakan hal yang pasti dan benar, tetapi tidak dapat dijelaskan bagaimana cara melihatnya, QS al-An'am ayat 103 . yang dijadikan dalil oleh al-Maturidi dalam mendukung pendapatnya tentang Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala, diberi tafsiran dengan mengatakan, bahwa Tuhan dapat dilihat maka penafsiran al-idrak (pengungkapan dengan cara-cara yang jelas) tidaklah ada artinya. Hal ini karena bila selain Tuhan hanya dapat ditangkap dengan pandangan menempatkan nafy al-idrak, penafian tersebut menjadi tidak bermakna. Oleh sebab itu, Tuhan dapat dilihat.








BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pembahasan dan Uraian diatas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.    Selanjutnya konsep Iman dan  Kufur terdapat  tiga kelompok yang sangat berbeda dalam menentukan hukum kafir dan mukmin, kelompok pertama yang mengatakan bahwa orang yang berbuat dosa besar dan sampai meninggal belum bertobat mereka mati kafir dan kekal dineraka inilah yang dianut oleh paham Khawarij, berbeda dengan mu'tazilah yang menghukum perbuatan dosa besar dengan sebutan fasiq yang menduduki posisi antara mukmin dan kafir (al-manzilah bain al-manzilatain). Sementara kelompok ketiga yang memahami bahwa orang yang berbuat dosa besar tetap mukmin, karena imannya masih ada tetapi karena dosa besar ia menjadi fasik. terserah kepada Tuhan, apakah akan diampuninya dan langsung masuk surga ataukah dijatuhi siksa karena kefasikannya tetapi kemudian dimasukkannya ke dalam surga. Inilah yang dipegang oleh aliran Asy'ariyah, Maturidiyah, dan Murjiah.
2.    Berkenaan tentang perbuatan Tuhan. aliran Mu'tazilah dan dan Maturidiyah samarkand memandang perbuatan Tuhan hanya pada yang baik-baik saja ia terbatas untuk berbuat buruk, maka dia berkewajiban mengutus Rasul dan menepati janji. Sedangkan Asyariyah dan Maturidiyah Bukhara Tuhan berbuat sekehendaknya tanpa ada ikatan kewajiban bagi makhluknya.
3.    Permasalahan perbuatan manusia. Aliran Mu'tazilah, Maturidiyah Samarkand dan Qadariyah bahwa kehendak daya dan perbuatan dikendalikan oleh manusia sendiri, sebaliknya Jabariyah semua yang melakukan adalah Tuhan, adapun  Asy'ariyah dan Maturidiyah Bukhara kehendak diciptakan Tuhan tapi daya dan perbuatan terdapat campur tangan Tuhan dan tangan manusia.
4.    Antropomorphisme merupakan penggambaran Tuhan dan menyerupakan Tuhan dengan Makhluknya. Maturidiyah Bukhara bahwa Tuhan mempunyai sifat dan bukan anggota badan tuhan, yaitu sifat sama dengan sifat lain seperti pengetahuan, daya dan kemauan. Namun bagi Mu'tazilah dan Maturidiyah Samarkand gambaran dalam ayat-ayat Alquran mesti diinterpretasikan. Adapun Asy'ariyah berpendapat bahwa ayat-ayat alquran tidak boleh diberi interpretasi.
5.    Persoalan Kalam Tuhan, Mu'tazilah berpendapat kalam Tuhan bukanlah sifat tetapi perbuatan Tuhan, Dengan demikian Alquran bukanlah bersifat kekal tetapi bersifat baharu dan diciptakan Tuhan. Karena alquran tersusun dari bagian-bagian berupa ayat dan surat. Adapun Aliran Asy'ariyah dan Maturidiyah sepakat bahwa Kalam Tuhan atau Alquran adalah Kekal.
6.    Dari sisi melihat Tuhan, Tuhan tidak dapat dilihat baik didunia dan diakhirat menurut Mu'tazilah dan Asy'ariyah hanya diakhirat kelak bisa dilihat. maturidiyah Samarkand melihat Tuhan hal yang pasti dan benar, tetapi tidak dapat dijelaskan bagaimana cara melihatnya.
 Penulis sendiri cenderung kepada paham yang dianut oleh aliran Asy'ariyah dan Maturidiyah Bukhara, yang cenderung mendahulukan wahyu tanpa menafikan pentingnya peranan Akal dalam kehidupan kita.



DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan terjemahannya. Madinah: Lembaga Percetakan al-Qur’an Raja                    Fadh,1971.

Abu Zahrah, Imam Muhammad. Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah, diterjemahkan Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik dan 'Aqidah dalam Islam. Cet. I; Jakarta: Logos Publishing House, 1996.

Amin, Ahmad. Dhuha al-Islam, Jilid III. Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, t.th.

Al-Asy'ari. al-Ibanah an Ushul al-Diyanah. Cet. IV: Saudi Arabiyah: Maktabah Dar al-Bayan, 1993 M/ 1413 H.

Al-Khurasyi, Sulaeman bin Shalih. Naqd Ushûl al-Aqlaniyyin. Riyad: Dar al-Ulum al-Sunnah. t.th.

Al-Baghddi, 'Abdul Qadir bin Tohir. al-farqu Baina al-Firq. Cet. I; Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1973.

Al-Qardhawy, Yusuf. al-İman wal Hayat, diterjemahkan Facruddin HS, Iman dan kehidupan. Cet. III; Jakarta: PT Bulan Bintang, 1993.

Al-Syahrastani. al-Milal wa al-Nihal, Juz I. Mesir: Maktabah Taufîqiyah, t.th. 

Al-Syuk'at, Musthafa. Islam Bila Madzahib. Mesir: Maktabah Usrah, 2005.

Glasse, Cyril,  Ensiklopedi Islam, Cet III,  Jakarta: Rajawali Pers, 2002

Izutzu, Toshihiko, konsep kepercayaan Dalam Teologi Islam: Analisis Semantik Iman dan Islam. Cet I. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994

Jamaluddin, Abu al-Fadhil. Lisan al-Arab. Beirut: Dar shadir, t.th.

Jauhari, Muhammad, Muhammad Rabi'. Iktinasul al-'Awali Min Iktishodi al-  Ghazali. Cet.  III; Mesir: 2002M/1422H.

Mansur, M. Laily. Pemikiran Kalam Dalam Islam. Cet. I; Jakarta: PT  Pustaka Firdaus, 1994.

Nasution, Harun. Teologi Islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisa perbandingan. Cet. V; Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI Press), 1986.

-------------------. Akal dan Wahyu dalam Islam. Cet. II; Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI Press) , 1986.
-------------------. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu'tazilah. Cet, I; Jakarta: UI Press 1987.

Rozak, Abdul dan  Rosihan Anwar. Ilmu Kalam. Cet. III; Bandung: CV Pustaka Setia, 2007.

Shadili, Hasan, et al.,  Ensiklopedia Indonesia, Juz III. Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hauven, 1982.

 Subhi, Ahmad Mahmud. Fi 'Ilmi al-Kalam, Dirasah Falsafiyah Li ara'i al-Firaq  al-Islamiyah fi Usûl al-Dîn. Cet. V; Beirut: Dar al-Nahdah al-Arabiyah, 1985/1405H.

Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah. Ensiklopedia Islam Indonesia. Jakarta: jambatan, 1992.

Zakariyah, Abu al-Husain Ahmad ibn  Faris. Mu'jam Maqayis al-Lughah. Juz I. Beirut: Dar Fikri, t.th.








POTRET ISLAM AGAMA YANG BENAR

Agama Islam Adalah Agama Yang Haq Yang Dibawa Oleh Nabi Muhammad
AGAMA ISLAM ADALAH AGAMA YANG HAQ


Islam secara bahasa (etimologi) adalah berserah diri, tunduk, atau patuh.

Adapun menurut syari’at (terminologi), definisi Islam berada pada dua keadaan:

Pertama: Apabila Islam disebutkan sendiri tanpa diiringi dengan kata iman, maka pengertian Islam mencakup keseluruhan agama, baik ushul (pokok) maupun furu’ (cabang), seluruh masalah ‘aqidah, ibadah, keyakinan, perkataan dan perbuatan. Jadi pengertian ini menunjukkan bahwa Islam adalah pengakuan dengan lisan, meyakininya dengan hati dan berserah diri kepada Allah Azza wa Jalla atas semua yang telah ditentukan dan ditakdirkan. [1]

Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang Nabi Ibrahim Alaihissallam:

إِذْ قَالَ لَهُ رَبُّهُ أَسْلِمْ ۖ قَالَ أَسْلَمْتُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ

“Ketika Rabb-nya berfirman kepadanya: ‘Tunduk patuhlah!’ Ibrahim menjawab: ‘Aku tunduk patuh kepada Rabb semesta alam.’” [Al-Baqarah: 131][2]

Ada juga yang mendefinisikan Islam dengan:

َاْلإِسْتِسْلاَمُ ِللهِ بِالتَّوْحِيْدِ وَاْلإِنْقِيَادُ لَهُ باِلطَّاعَةِ وَالْبَرَاءَةُ مِنَ الشِّرْكِ وَأَهْلِهِ.

“Berserah diri kepada Allah dengan cara mentauhidkan-Nya, tunduk patuh kepada-Nya dengan melaksanakan ketaatan (atas segala perintah dan larangan-Nya), serta membebaskan diri dari perbuatan syirik dan orang-orang yang berbuat syirik.”[3]

Kedua: Apabila Islam disebutkan bersamaan dengan kata iman, maka yang dimaksud dengan Islam adalah perkataan dan amal-amal lahiriyah yang diri dan hartanya terjaga [4] dengan perkataan dan amal-amal tersebut, baik dia meyakini Islam ataupun tidak. Sedangkan kalimat iman berkaitan dengan amalan hati.[5]

Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :

قَالَتِ الْأَعْرَابُ آمَنَّا ۖ قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَٰكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ

“Orang-orang Arab Badui itu berkata: ‘Kami telah beriman.’ Katakanlah (kepada mereka): ‘Kamu belum beriman, tetapi katakanlah: ‘Kami telah tunduk,’ karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu...” [Al-Hujuraat: 14]

Dengan Islam, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengakhiri serta menyempurna-kan agama-Nya yang dianut ummat sebelumnya untuk para hamba-Nya. Dengan Islam pula, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyempurnakan kenikmatan-Nya dan meridhai Islam sebagai agama. Agama Islam adalah agama yang benar dan satu-satunya agama yang diterima Allah, agama (kepercayaan) selain Islam tidak akan diterima Allah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ

“Sesungguhnya agama (yang benar) di sisi Allah adalah Islam.” [Ali ‘Imran: 19]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan di akhirat ia termasuk orang-orang yang rugi.” [Ali ‘Imran: 85]

Allah Azza wa Jalla telah mewajibkan kepada seluruh manusia untuk memeluk agama Islam karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus untuk seluruh manusia.

Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:

قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ يُحْيِي وَيُمِيتُ ۖ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

“Katakanlah: ‘Hai manusia, sesungguhnya aku adalah Rasul (utusan) Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang memiliki keajaan langit dan bumi, tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Dia, Yang menghidupkan dan Yang me-matikan.’ Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, (yaitu) Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada Kalimat-kalimat-Nya (Kitab-kitab-Nya) dan ikutilah ia, agar kamu mendapat petunjuk.”[Al-A’raaf: 158]

Hal ini juga sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لاَ يَسْمَعُ بِيْ أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ اْلأُمَّـةِ يَهُوْدِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ، ثُمَّ يَمُوْتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ، إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ.

“Demi (Rabb) yang diri Muhammad ada di tangan-Nya, tidaklah mendengar seseorang dari ummat Yahudi dan Nasrani tentang diutusnya aku (Muhammad), kemudian ia mati dalam keadaan tidak beriman dengan apa yang aku diutus dengannya (Islam), niscaya ia termasuk penghuni Neraka.” [6]

Mengimani Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, artinya membenarkan dengan penuh penerimaan dan kepatuhan pada seluruh apa yang dibawanya, bukan hanya membenarkan semata. Oleh karena itulah Abu Thalib (paman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) termasuk kafir, yaitu orang yang tidak beriman kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meskipun ia membenarkan apa yang dibawa oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ia membenarkan pula bahwa Islam adalah agama yang terbaik.

Agama Islam mencakup seluruh kemaslahatan yang terkandung di dalam agama-agama terdahulu. Islam memiliki keistimewaan, yaitu cocok dan sesuai untuk setiap masa, tempat dan kondisi ummat.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ

“Dan Kami turunkan Al-Qur-an kepadamu dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu Kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan sebagai batu ujian terhadap Kitab-kitab yang lain...” [Al-Maa-idah: 48]

Islam dikatakan cocok dan sesuai di setiap masa, tempat, dan kondisi ummat maksudnya adalah berpegang teguh kepada Islam tidak akan menghilangkan kemaslahatan ummat, bahkan dengan Islam ini ummat akan menjadi baik, sejahtera, aman dan sentausa. Tetapi harus diingat bahwa Islam tidak tunduk terhadap masa, tempat dan kondisi ummat sebagaimana yang dikehendaki oleh sebagian orang. Apabila ummat manusia menginginkan keselamatan di dunia dan di akhirat, maka mereka harus masuk Islam dan tunduk dalam melaksanakan syari’at Islam.

Agama Islam adalah agama yang benar, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjanjikan kemenangan kepada orang yang berpegang teguh kepada agama ini dengan baik, namun dengan syarat mereka harus mentauhidkan Allah, menjauhkan segala (bentuk) perbuatan syirik, menuntut ilmu syar’i, dan mengamalkan amal yang shalih.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَىٰ وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ

“Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al-Qur-an) dan agama yang haq (benar), untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukainya.” [At-Taubah: 33]

Juga dalam firman-Nya:

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih, bahwa sungguh Dia akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana telah Dia jadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap beribadah kepada-Ku dengan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” [An-Nuur: 55]

Islam adalah agama yang sempurna dalam ‘aqidah dan syari’at. Di antara bentuk kesempurnaannya adalah:

1. Islam memerintahkan untuk bertauhid dan melarang perbuatan syirik.

2. Memerintahkan untuk berbuat jujur dan melarang bersikap bohong.

3. Memerintahkan untuk berbuat adil dan melarang bersikap zhalim.

4. Memerintahkan untuk bersikap amanah dan melarang bersikap khianat.

5. Memerintahkan untuk menepati janji dan melarang ingkar janji.

6. Memerintahkan untuk berbakti kepada ibu-bapak serta melarang mendurhakai keduanya.

7. Islam menjaga agama dan Islam mengharamkan seseorang murtad (keluar dari agama Islam).

8. Islam menjaga jiwa. Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla mengharam-kan pembunuhan dan penumpahan darah ummat Islam. Islam memelihara jiwa, oleh karena itu Islam mengharamkan pem-bunuhan secara tidak haq (benar), dan hukuman bagi orang yang membunuh jiwa seorang Muslim secara tidak haq adalah hukuman mati.

9. Islam menjaga akal. Oleh karena itu, Islam mengharamkan setiap yang memabukkan seperti khamr, narkoba dan rokok.

10. Islam menjaga harta. Oleh karena itu, Islam mengajarkan amanah (kejujuran) dan menghargai orang-orang yang amanah bahkan menjanjikan kehidupan bahagia dan Surga kepada mereka. Dan Islam juga melarang mencuri dan korupsi serta mengancam pelakunya dengan hukuman potong tangan (sebatas pergelangan).[7]

11. Islam menjaga nasab (keturunan). Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla mengharamkan zina dan segala jalan yang membawa kepada zina.[8]

12. Islam menjaga kehormatan. Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla mengharamkan menuduh orang baik-baik sebagai pezina atau dengan tuduhan-tuduhan lain yang merusak kehormatannya.

Dalil-dalil bahwa Islam menjaga jiwa, harta dan kehormatan kaum Muslimin di antaranya:

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ، وَأَمْوَالَكُمْ، وَأَعْرَاضَكُمْ، بَيْنَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، فِيْ شَهْرِكُمْ هَذَا، فِيْ بَلَدِكُمْ هَذَا، لِيُبَلِّغِ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ...

“Sesungguhnya darah kalian, harta benda kalian, kehormatan kalian, haram atas kalian seperti terlarangnya di hari ini, bulan ini dan negeri ini. Hendaknya yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir...” [9]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عِنْدَ اللهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ.

“Lenyapnya dunia lebih ringan di sisi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang Muslim.” [10]

Dari Buraidah Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

قَتْلُ الْمُؤْمِنِ أَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ مِنْ زَوَالِ الدُّنْيَا.

‘Terbunuhnya seorang Mukmin lebih berat (urusannya) di sisi Allah daripada lenyapnya dunia.’” [11]

Bahkan darah seorang Muslim lebih mulia dari Ka’bah yang mulia.[12]

Secara umum Islam memerintahkan agar berakhlak yang mulia, bermoral baik dan melarang bermoral buruk. Islam juga memerintahkan setiap perbuatan baik dan melarang perbuatan yang buruk.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan ber-buat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah me-larang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengam-bil pelajaran.” [An-Nahl: 90]

Islam didirikan atas lima dasar. Sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits masyhur yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَإِقَـامِ الصَّلاَةِ، وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ، وَحَجِّ الْبَيْتِ.

“Islam dibangun atas lima dasar: (1) bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, (2) menegakkan shalat, (3) membayar zakat, (4) berpuasa di bulan Ramadhan, dan (5) menunaikan haji ke Baitullaah.”[13]

Rukun Islam ini wajib diimani, diyakini dan wajib diamalkan oleh setiap Muslim dan Muslimah.

Rukun Pertama: Kesaksian tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah Azza wa Jalla dan (bahwa) Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba serta Rasul-Nya, merupakan keyakinan mantap yang diekspresikan dengan lisan. Dengan kemantapannya itu, seakan-akan ia dapat menyaksikan-Nya.

Syahadah (kesaksian) merupakan satu rukun padahal yang disaksikan itu ada dua hal, ini dikarenakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penyampai risalah dari Allah Azza wa Jalla. Jadi, kesaksian bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan utusan Allah Azza wa Jalla merupakan kesempurnaan kesaksian لاَ إِلهَ إِلاَّ الله, tidak ada sesembahan yang berhak di ibadahi dengan benar kecuali Allah.

Syahadatain (dua kesaksian) tersebut merupakan prinsip dasar keabsahan dan diterimanya semua amal. Amal akan sah dan diterima bila dilakukan dengan keikhlasan hanya karena Allah Azza wa Jalla dan mutaba’ah (mengikuti) Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ikhlas karena Allah Azza wa Jalla merupakan realisasi dari syahadat (kesaksian) laa ilaaha illallaah, tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah. Sedangkan mutaba’ah atau meng-ikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan realisasi dari pada kesaksian bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan Rasul-Nya.

Faedah terbesar dari dua kalimat syahadat tersebut adalah membebaskan hati dan jiwa dari penghambaan terhadap makhluk dengan beribadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla saja serta tidak mengikuti melainkan hanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Rukun Kedua: Menegakkan shalat artinya beribadah kepada Allah dengan melaksanakan shalat wajib lima waktu secara istiqamah dan sempurna, baik waktu maupun caranya. Shalat harus sesuai dengan contoh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

صَلُّوْا كَمَا رَأَيتُمُوْنِي أُصَلِّي.

“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat.” [14]

Salah satu hikmah shalat adalah mendapat kelapangan dada, ketenangan hati, serta menjauhkan diri dari perbuatan keji dan munkar. [15]

Rukun Ketiga: Membayar zakat artinya beribadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla dengan menyerahkan kadar yang wajib dari harta-harta yang harus dikeluarkan zakatnya.[16]

Salah satu hikmah membayar zakat adalah membersihkan harta, jiwa dan moral yang buruk, yaitu kekikiran serta dapat menutupi kebutuhan Islam dan kaum Muslimin, menolong orang fakir dan miskin.

Rukun Keempat: Berpuasa di bulan Ramadhan artinya beribadah hanya kepada Allah dengan cara meninggalkan makan, minum, jima’ (bercampur) antara suami isteri dan hal-hal yang dapat membatalkannya dari mulai terbit fajar shadiq sampai terbenam matahari.

Salah satu hikmah berpuasa di bulan Ramadhan adalah melatih jiwa untuk meninggalkan hal-hal yang disukai karena mencari ridha Allah Azza wa Jalla.
Rukun Kelima: Menunaikan (ibadah) haji ke Baitullah (rumah Allah) artinya beribadah hanya kepada Allah dengan menuju al-Baitul Haram (Ka’bah di Makkah al-Mukarramah) untuk melaksanakan syi’ar atau manasik haji.

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ

“Sesungguhnya rumah yang pertama-tama dibangun untuk (tempat beribadah) manusia adalah Baitullah yang berada di Bakkah (Makkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.” [Ali ‘Imran: 96]

Salah satu hikmah menunaikan haji ke Baitullah adalah melatih jiwa untuk mengerahkan segala kemampuan, harta, dan jiwa agar tetap taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itulah, haji merupakan salah satu macam dari jihad fii sabiilillaah.[17]