Rabu, 03 Juli 2013

PENULISAN AL-QURAN

  PENULISAN AL-QURAN

Makalah Ini Dipresentasikan Pada Forum Seminar Program Magister (S2)
Mata Kuliah Ulum al-Quran

OLEH :
MADYAN
NIM : 80100207092

DOSEN PEMANDU:
  PENULISAN AL-QURAN

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
    Al-Qur'an sebagai kitab suci terakhir dimaksudkan untuk menjadi petunjuk, bukan saja bagi anggota masyarakat tempat kitab ini ditirunkan, tetapi juga bagi seluruh masyarakat manusia hingga akhir zaman.
    Al-Qur'an juga merupakan salah satu sumber hukuk Islam yang menduduki peringkat teratas . Dan seluruh ayatnya berstatus qat'ial wurud yang diyakini eksistensinya sebagai wahyu dari Allah Swt. 
    Dengan demikian, autentisitas serta orisinalitas al-Qur'an benar-benar dapat dipertanggungjawabkan, karena ia merupakan wahyu Allah baik dari segi lafadz maupun dari segi maknanya.
    Sejak awal hingga akhir turunnya, seluruh ayat al-Qur'an telah ditulis dan didokumentasikan oleh para juru tulis wahyu yang ditunjuk oleh Rasulullah saw.  Di samping itu seluruh ayat al-Qur'an dinukilkan atau diriwayatkan secara mutawatir baik secara hapalan maupun tulisan.
    Dalam pada itu, al-Qur'an sebagai yang dimiliki umat Islam sekarang, ternyata telah mengalami proses sejarah yang cukup unik dalam upaya penulisan dan pembukuannya. Pada masa nabi saw., al-Qur'an belum ditulis dan dibukukan dalam satu mushaf. Ia baru ditulis pada kepingan-kepingan tulang, pelepah-pelepah kurma, batu gepeng, potongan kulit dan papan kayu. Sesuai dengan kondisi peradaban masyarakat waktu itu yang belum mengenal adanya alat tulis menulis seperti kertas.
    Untuk memfungsikan al-Qur'an, dan memahami isi serta kandungannya maka diperlukan suatu ilmu yang terkait. Salah satunya adalah ilmu rasm al-Qur'an.
B. Rumusan Masalah
    Dari uraian yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan masalah yang pemakalah akan bahas adalah:
1.    Apa pengertian penulisan al-Qur'an?
2.    Bagaimana sejarah perkembangan penulisan al-Qur'an?
3.    Bagaimana pola, hukum dan kedudukan serta pendapat Ulama tentang penulisan al-Qur'an?
4.    Bagaimana kaedah-kaedah rasm Usmani?
5.    Apa faedah penulisan al-Qur'an dengan rasm Usmani?

II. PEMBAHASAN

A.    Pengertian Penulisan al-Qur'an

Penulisan al-Qur'an biasa diistilahkan dengan rasm al-Qur'an. Kata rasm berasal  dari kata rasama, yarsamu, rasman, yang berarti menggambar atau melukis.   Kata rasm ini juga bisa diartikan sebagai sesuatu yang resmi atau menurut aturan.   Jadi rasm berarti tulisan atau penulisan yang mempunyai metode tertentu. Kamaluddin Marzuki dalam bukunya Ulum al-Qur'an juga berpendapat bahwa yang dimaksud dengan rasm al-Qur'an (penulisan al-Qur'an) adalah tata cara menuliskan al-Qur'an yang ditetapkan pada masa Usman. Demikian pula ada yang mengistilahkan dengan al-Mushhaf atau rasm al-Qur'an dan diartikan sebagai format atau bentuk yang diinginkan usman dalam hal penulisan kata-kata al-Qur'an dan huruf-hurufnya.   Adapun yang dimaksud rasm atau penulisan dalam makalah ini adalah pola penulisan al-Qur'an yang digunakan usman bin Affan dan sahabat-sahabatnya ketika menulis dan membukukan al-Qur'an.

B.    Sejarah Perkembangan Penulisan Al-Qur'an

Pada mulanya mushaf para sahabat berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Mereka mencatat wahyu al-Qur'an tanpa pola penulisan standar, karena umumnya hanya dimaksudkan untuk kebutuhan pribadi, tidak direncanakan akan diwariskan kepada generasi sesudahnya.
Di zaman nabi saw., al-Qur'an ditulis pada benda-benda sederhana, seperti kepingan-kepingan batu, kepingan-kepingan tulang, pelepah-pelepah kurma, potongan kulit dan papan kayu. Tulisan al-Qur'an ini masih terpencar-pencar dan belum terhimpun dalam sebuah mushaf, dan disimpan di rumah nabi saw. Penulisan ini bertujuan untuk membantu memelihara keutuhan  dan kemurnian al-Qur'an.
Di zaman Abu Baqar, al-Qur'an yang terpencar-pencar itu disalin ke dalam shuhuf (lembaran-lembaran). Penghimpunan al-Qur'an ini dilakukan Abu Bakar setelah menerima usul dari Umar Ibnul Khattab yang khawatir akan semakin hilangnya para penghapal al-Quran sebagaimana yang terjadi pada perang yamamah yang menyebabkan gugurnya 70 orang penghafal al-Quran, begitu pula pada pertempuran di sumur Maunah telah gugur pula para Qurra sejumlah pada perang Yamamah.   Karena itu, tujuan pokok dari penyalinan al-Quran di zaman Abu bakar masih dalam rangka pemeliharaan agar jangan sampai ada yang terluput dari alquran. 
Jadi, secara praktis bisa dipastikan bahwa tidak ada "kumpulan" lengkap dari Quran yang dibuat secara resmi pada masa Abu bakar. Kisah menurut tradisi yang dibicarakan sejauh ini, tidak diragukan telah diperlukan secara berangsur untuk menghindari kenyataan yang merisaukan bahwa ' kumpulan ' pertama dari al-Quran dibuat oleh Usman yang sangat tidak populer. Sebaliknya, tidak ada alasan yang baik untuk meragukan bahwa Hafsah memiliki salinan al-Quran yang ditulis diatas Suhuf, apakah itu ditulis oleh dia sendiri atau oleh Zaid, atau oleh orang lain. 

Pada zaman khalifah Usman bin Affan al-Qur'an disalin lagi ke dalam beberapa naskah. Untuk melakukan pekerjaan ini, Usman membentuk tim empat yang terdiri atas Zaid ibnu Tsabit, Abdullah ibnu al-Zubair, Said bin al-Ash, dan Abdu Rahman bin al-Harits.
Dalam kerja penyalinan al-Quran ini mereka mengikuti ketentuan-ketentuan yang disetujui oleh Khalifah Usman. Diantara ketentuan-ketentuan itu adalah bahwa mereka menyalin ayat berdasarkan riwayat mutawatir, mengabaikan ayat-ayat mansukh yang tidak diyakini dibaca kembali di masa hidup Nabi. S.a.w., tulisannya secara maksimal mampu mengakomodosi qiraat yang berbeda-beda. Dan menghilangkan semua tulisan sahabat yang tidak termasuk ayat al-Quran. Para penulis dan para sahabat setuju dengan tulisan yang mereka gunakan ini. Para ulama menyebut cara tulisan ini sebagai rasm al-Mushaf. Karena cara penulisan ini disetujui Usman sehingga sering pula dinisbahkan kepada Usman. Sehingga mereka sebut rasm Usman atau Rasm al-Ustmani. Namun demikian, pengertian rasm ini terbatas pada tulisan mushaf oleh tim empat di saman Usman dan tidak mencakup rasm Mushaf pada saman Abu bakar dan saman Nabi. S.a.w. bahkan, khalifah Usman membakar mushaf-mushaf salinan tim empat karena khawatir akan beredarnya dan menimbulkan perselisihan di kalangan umat Islam. Hal ini membuka peluang bagi umat kemudian untuk berbeda pendapat tentang kewajiban mengikuti rasm Usmani. Tulisan inilah yang tersebar di dunia Islam dewasa ini. 




C. Pola, Hukum Dan Kedudukan Serta Pendapat Ulama Tentang Rasm Al-Quran

Kedudukan rasm usmani diperselisihkan para ulama, apakah pola penulisan tersebut merupakan petunjuk Nabi atau hanya ijtihad kalangan sahabat. Adapun pendapat mereka adalah sebagai berikut:
1-Kelompok pertama (Jumhur Ulama) berpendapat bahwa pola rasm usmani bersipat tauqifi dengan alasan bahwa para penulis wahyu adalah sahabat-sahabat yang ditunjuk dan dipercaya Nabi. S.a.w . Pola penulisan tersebut bukan merupan ijtihad para sahabat Nabi dan para sahabat tidak mungkin melakukan kesepakatan (ijma') dalam hal-hal yang bertentangan dengan kehendak dan restu nabi saw. Bentuk-bentuk inkonsistensi di dalam penulisan al-Qur'an tidak bisa dilihat hanya berdasarkan standar penulisan baku, tetapi dibalik itu ada rahasia yang belum dapat terungkap secara keseluruhan. Pola penulisan tersebut juga dipertahankan para sahabat dan tabi'in.   Dengan demikian, menurut pendapat ini hukum mengikuti rasm Usmani adalah wajib, dengan alasan bahwa pola tersebut merupakan petunjuk nabi (tauqify). Pola itu harus dipertahankan meskipun beberapa di antaranya menyalahi kaedah-kaedah penulisan yang telah dibakukan. Bahkan imam Ahmad ibnu Hambal dan imam Malik berpendapat bahwa haram hukumnya menulis al-Quran menyalahi rasm usmani. Bagaimana pun, pola tersebut adalah merupakan kesepakatan ulama mayoritas (Jumhur Ulama).
2- Kelompok kedua berpendapat, bahwa pola penulisan di dalam rasm usmani tidak bersifat tauqifi, tetapi hanya bersipat ijtihad para sahabat. Tidak ditemukan riwayat Nabi mengenai ketentuan pola penulisan wahyu. Bahkan sebuah riwayat dikutip oleh Rajab Fargani " sesungguhnya Rasulullah s.a.w. memerintahkan menulis al-Quran, tapi tidak memberikan petunjuk tekhnis penulisannya, dan tidak pula melarang menulisnya dengan pola-pola tertentu. Karena itu ada perbedaan model-model penulisan Al-Quran dalam mushaf-mushaf mereka. Ada yang menulis suatu lafadz al-Quran sesuai dengan bunyi lafal itu, ada yang menambah atau menguranginya, karena mereka tahu itu hanya cara. Karena itu, dibenarkan menulis mushaf dengan pola-pola penulisan masa lalu atau pola-pola baru. 
Lagi pula, seandainya itu petunjuk Nabi s.a.w, rasm itu akan disebut rasm Nabi s.a.w, bukan rasm usmani. Belum lagi kalau Ummi diartikan sebagai buta huruf, yang berarti tidak mungkin petunjuk teknis dari nabi saw. Tidak pernah ditemukan suatu riwayat dari nabi saw maupun sahabat bahwa pola penulisan al-Qur'an itu bersumber dari petunjuk nabi.
Kelompok ini pula berpendapat bahwa tidak ada masalah jika al-Qur'an ditulis dengan pola penulisan standar (rasm imla'i). Soal penulisan diserahkan kepada pembaca, kalau pembaca merasa lebih mudah dengan rasm imla'i, ia dapat menulisnya dengan pola tersebut, karena pola penulisan itu simbol pembacaan, dan tidak mempengaruhi makna al-Qur'an. 
Sehubungan dengan ini, mereka menyatakan sebagai berikut: sesungguhnya bentuk dan model tulisan itu tidak lain hanyalah merupakan tanda atau simbol. Karena itu segala bentuk dan model tulisan al-Qur'an yang menunjukkan arah bacaan yang benar, dapat dibenarkan. Sedangkan rasm usmani yang menyalahi rasm imla'i sebagaimana kita kenal menyulitkan banyak orang serta bisa mengakibatkan berat dan kacau bagi pembacanya.
    3. Kelompok ketiga mengatakan, bahwa penulisan al-Qur'an dengan rasm imla'i dapat dibenarkan, tetapi khusus bagi orang awam. Bagi para ulama atau yang memahami rasm usmani, tetap wajib mempertahankan keaslian rasm tersebut. Pendapat ini diperkuat al-Zarqani dengan mengatakan bahwa rasm imla'i diperlukan untuk menghindarkan umat dari kesalahan membaca al-Qur'an, sedang rasm usmani diperlukan untuk memelihara keaslian mushaf al-Qur'an. 
Tampaknya, pendapat yang ketiga ini berupaya untuk mengkompromikan antara dua pendapat terdahulu yang bertentangan. Di satu pihak mereka ingin melestarikan rasm usmani, sementara di pihak lain mereka menghendaki dilakukannya penulisan al-Qur'an dengan rasm imla'i untuk memberikan kemudahan bagi kaum muslimin yang kemungkinan mendapat kesulitan membaca al-Qur'an dengan rasm usmani. Dan pendapat ketiga ini lebih moderat dan lebih sesuai dengan kondisi umat. Memang tidak ditemukan nash yang mewajibkan penulisan al-Qur'an dengan rasm usmani. Namun demikian, kesepakatan para penulis al-Qur'an dengan rasm usmani harus diindahkan dalam pengertian menjadikannya sebagai rujukan yang keberadaannya tidak boleh hilang dari masyarakat islam. Sementara jumlah umat islam dewasa ini cukup besar yang tidak menguasai rasm usmani. Bahkan, tidak sedikit jumlah umat islam yang tidak mampu membaca aksara arab. Mereka membutuhkan tulisan lain untuk membantu mereka agar dapat membaca ayat-ayat al-Qur'an, seperti tulisan latin. Namun demikian, al-Qur'an dengan rasm usmani harus dipelihara sebagai standar rujukan ketika dibutuhkan. Demikian juga tulisan ayat-ayat al-Qur'an dalam karya ilmiah, rasm usmani mutlak diharuskan karena statusnya sudah masuk dalam kategori rujukan dan penulisnya tidak mempunyai alasan untuk mengabaikannya.
    Dari ketiga pendapat di atas, penulis lebih cenderung mengatakan, bahwa untuk penulisan al-Qur'an secara utuh sebagai kitab suci umat islam, mesti mengikuti dan berpedoman kepada rasm usmani, hal ini mengingat pertimbangan sebagai berikut:
1.    Agar umat islam di seluruh dunia memiliki kitab suci yang seragam dalam pola penulisannya, sesuai dengan pola aslinya.
2.    Pola penulisan dengan rasm usmani, kalaupun tidak bersifat tauqifi minimal telah merupakan ijma' atau kesepakatan para nabi saw. Ijma' sahabat memiliki kekuatan hukum tersendiri yang wajib diikuti, termasuk dalam penulisan al-Qur'an dengan rasm usmani (bila dimaksudkan sebagai kitab suci utuh).
3.    Pola penulisan al-Qur'an berdasarkan rasm usmani boleh dikatakan sebagian besar sesuai dengan kaedah-kaedah rasm imla'i dan hanya sebagian kecil saja yang menyalahi atau berbeda dengan rasm imla'i.



D.    Kaidah-kaidah Rasm Usmani

Mushaf usmani ditulis menurut kaidah-kaidah tulisan tertentu yang berbeda dengan kaidah imlak. Para ulama merumuskan kaidah-kaidah tersebut menjadi enam istilah.   Keenam kaidah-kaidah tersebut adalah:

1.    Kaidah buang (al-Hadzf)

a.    Membuang atau menghilangkan huruf alif :

1). Dari ya nida (ya seru), seperti يايها الناس     yang menurut kaidah imlak ياأيها الناس
2). Dari ha tanbih (ha menarik perhatian), seperti هأنتم yang menurut kaidah imlak هاأنتم
3) Dari kata na, seperti أنجينكم   yang menurut kaidah imlak أنجيناكم
4). Dari lafal Allah, الله   yang menurut kaidah imlak الاه
5). Dari dua kata الرحمن   dan  سبحن    yang menurut kaidah imlak الرحمان dan سبحان
6). Sesudah huruf lam, seperti ( خلئف  ) yang menurut kaidah imlak خلائف
7). Dari semua bentuk mutsanna (dual), seperti ( رجلن ) yang menurut kaidah imlak ( رجلان)
8). Dan semua bentuk jama' shahih, baik mudzakkar seperti ( سمعون) maupun muannats (perempuan),seperti (المؤمنت  )
9). Dari semua bentuk jamak yang setimbang dengan مفاعل                seperti   مسجد    yang menurut kaidah imlak seperti مساجد
10). Dari semua kata bilangan, seperti ثلث   yang menurut kaidah imlak ثلاث
11). Dari basmalah, yaitu بسم الله   yang menurut kaidah imlak باسم الله
                               
b.    Membuang huruf ya'

Huruf ya' dibuang dari setiap manqushah munawwan, baik berbaris raf'a maupun jar, seperti باغ   yang asalnya باغي

c.    Membuang huruf waw
Huruf waw ( و    ) dibuang apabila bergandengan dengan waw juga, seperti لا يستون               dan       فأوا   yang asal keduanya       لا يستوون         dan فأووا

d.    Membuang huruf lam
 
Huruf lam dihilangkan apabila dalam keadaan idgham seperti اليل           dan   الذي         yang asal keduanya الليل dan اللذي


2.    Kaidah Penambahan (al-Ziyadah)

Penambahan (al-Ziyadah) di sini berarti penambahan huruf alif ( ا ) atau ya (  ي  ) atau hamzah (  ء   ) pada kata-kata tertentu. Rinciannya sebagai berikut:

a.    Penambahan huruf alif

1). Penambahan huruf alif (  ا  ) sesudah waw (  و ) pada akhir setiap isim jama' (kata benda berbentuk jamak) atau mempunyai hukum jamak, seperti ملاقوا ربهم    dan أولو الألباب
2). Penambahan huruf alif sesudah huruf hamzah (hamzah yang ditulis di atas rumah waw, seperti تالله تفتؤا     yang asalnya تالله تفتأ.
                                  b.  Penambahan huruf ya
  
                                       1). Penambahan huruf ya pada kata-kata من تلقائ نفسي   dan  من ورائ حجاب  
    2). Penambahan pada huruf-huruf waw pada kata-kata tertentu seperti   ( أولو), ( اولئك), (اولاء), (أولات),
           
3.    Kaedah Hamzah (al-Hamzah).
Apa bila hamzah berharakat (berbaris) sukun (tanda mati), maka ditulis dengan huruf berharakat yang sebelumnya, seperti ائذن  kecuali pada beberapa keadaan.
    Adapun hamzah yang berharakat, maka jika ia berada di awal kata dan bersambung dengan hamzah tersebut, huruf tambahan mutlak harus ditulis dengan alif dalam keadaan berharakat fathah atau kasrah, seperti فبأي، سأصرف، أولو، أيوب kecuali beberapa pada kata yang dikecualikan.
    Adapun jika hamzah terletak di tengah, maka ia ditulis sesuai dengan huruf harakatnya. Kalau fathah dengan alif, kalau kasrah dengan yah, dan kalau dhammah dengan waw, seperti (سئل، سأل، تقرؤه ). Tetapi, apa bila huruf yang sebelum hamzah itu sukun, maka tidak ada tambahan, seperti الخبء dan ملء. Namun, diluar tersebut ini kata yang dikecualikan.
4.    Kaedah penggantian (al-Badal).
a.    Huruf alif ditulis dengan huruf waw sebagai penghormatan pada kata الصلوة، الزكوة  dan الحيوة kecuali pada kata yang dikecualikan.
b.    Huruf alif ditulis dengan huruf ya (ي) pada kata-kata berikut : إلى، على ، أنى yang berarti كيف (bagaimana), (متى) (بلى) dan (لدى).
c.    Huruf alif diganti dengan huruf nun taukid khafifah pada kata إذن .
d.    Huruf ta ta'nis atau marbutah (ةditulis dengan ta maftuhah (ت)
Pada kata dalam surah al-Baqarah, al-A'raf, Hud, Maryam, al-Rum dan al-Zukhruf.
Huruf ta ta'nits ditulis dengan ta maftuhah pada kata yang terdapat dalam surah al-Baqarah, Ali Imran, al-Maidah, Ibrahin, An-Nahl, Luqman, Fathir, dan Ath-Thur. Demikian juga pada   معصيت الله  dan     لعنة الله     yang terdapat pada surah al-Mujadalah.

5.    Kaidah Sambung dan Pisah (Washl wa fashl)
Washl berarti menyambung. Di sini, washl dimaksudkan metode penyambungan kata (dalam bahasa Arab disebut huruf, jadi penyambungan dua huruf) yang menyebabkan hilang atau dibuangnya huruf tertentu.
a. Bila an ( أن ) dengan harakat fathah pada hamzahnya disusul dengan la (لا), maka penulisannya bersambung dengan menghilangkan huruf nun, seperti  ألا    tidak ditulis     أن لا      , kecuali pada kalimat        أن لا تقولوا  dan أن تعبدوا إلا الله
b. Min (   من ) yang bersambung dengan ma (  ما  ) penulisannya disambung dan huruf nun pada min-nya tidak ditulis, seperti مما kecuali من ما ملكت أيمانكم  yang terdapat di dalam surah an-Nisa dan al-Rum dan ومن ما رزقناكم pada surah al-Munafikun.
c. Min (من)  yang disusul dengan man (من) ditulis bersambung dengan menghilangkan huruf nun sehingga menjadi mim-man (ممن), bukan (من من ).
6.    Kata yang Bisa Dibaca Dua Bunyi.
Suatu kata yang boleh dibaca dengan dua cara dalam bahasa arab penulisannya disesuaikan dengan salah satu bunyinya. Di dalam mushhaf usmani, penulisan kata semacam itu ditulis dengan menghilangkan alif, seperti pada kalimat maliki yaum ad-din dan yakhda'una Allah. Ayat-ayat ini boleh dibaca dengan menetapkan alif (madd) dan boleh dengan suara tanpa alif sehingga bunyinya pendek.

    Demikianlah kaidah yang ditetapkan untuk penulisan mushaf usmani. Kaidah penulisan ini berbeda dengan yang biasa yang digunakan dalam penulisan bahasa Arab yang biasa dipakai. Di dalam bahasa arab dikenal tiga macam metode penulisan. Yakni, pertama, penulisan mushhaf usmani yang baru saja disinggung secara singkat. Kedua, peulisan Arudl, yaitu ilmu alat untuk menimbang syair-syair. Tulisan jenis kedua ini, semua bunyi divisualisasikan dalam bentuk huruf. Dan ketiga, penulisan biasa. Maksudnya, tata cara menulis yang dipakai sehari-hari. 


E.    Faedah Penulisan al-Qur'an dengan Rasm Usmani

          Rasm Usmani memiliki beberapa faedah sebagai berikut:
    
1.    Memelihara dan melestarikan penulisan al-Qur'an sesuai dengan pola penulisan al-Qur'an pada awal penulisan dan pembukuannya
2.    Memberi kemungkinan pada lafadz yang sama untuk dibaca dengan versi qira'at, seperti dalam firman Allah swt dalam Q.S. al-Baqarah (2):7 وما يخدعون إلا أنفسهم     lafdz  يخدعون  dalam ayat di atas, biasa dibaca menurut versi qira'at lainnya yaitu يخادعون    sementara kalau ditulis يخادعون  tidak memberi kemungkinan untuk dibaca يخدعون
3.    Kemungkinan dapat menunjukkan makna atau maksud yang tersembunyi, dalam ayat-ayat tertentu yang penulisannya menyalahi rasm imla'i seperti dalam firman Allah Swt. Berikut ini Q.S. 51:47 والسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَييْدٍ وَإِنَّا لَمُوسِعُونَ   Menurut sementara ulama lafaz بأييد    ditulis dengan huruf ganda Ya ( الياء    ) karena memberi isyarat akan kebesaran kekuasaan Allah Swt., khususnya dalam penciptaan langit dan alam semesta.
4.    Kemungkinan dapat menunjukkan keaslian harakat (syakal) suatu lafaz, seperti penambahan huruf waw (  الواو    ) pada ayat    سَأُورِيكُمْ دَارَ الفَاسِقِينَ     dan penambahan huruf ya (    الياء   ) pada وإيتاءي ذي القربى

III. KESIMPULAN
Dari uraian di atas penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan antara lain sebagai berikut:
A.    Rasm al-Qur'an sebagai pola penulisan al-Qur'an yang digunakan Usman bin Affan dan sahabatnya ketika menulis dan membukukan al-Qur'an.
B.     Rasm al-Qur'an cikal bakalnya sudah ada sejak masa Rasulullah saw. Dalam artian pencatatan wahyu oleh para sekretaris Nabi saw yang didiktekan langsung oleh beliau dengan model tulisan pada saat itu. Sedangkan tulisan al-Qur'an dideklarasikan sebagai ilmu rasm al-Qur'an pada masa khalifah Usman bin Affan, yang ditandai dengan pembentukan tim penulisan dan penggandaan mushhaf al-Qur'an dengan menggunakan metode khusus atas petunjuk khalifah Usman.
C.    Tentang hukum menulis ayat-ayat al-Qur'an menurut rasm al-Qur'an para ulama berbeda pendapat. Ada yang berpendapat bahwa itu tauqify dan ada pula yang berpendapat bahwa itu adalah ijtihadi.
D.    Rasm Usmani mempunyai beberapa kaidah-kaidah:
1.    Kaidah buang (al-Hadzf)
2.    Kaidah penambahan (al-Ziyadah)
3.    Kaidah Hamzah (al-Hamzah)
4.    Kaidah penggantian (al-Badal)
5.    Kaidah sambung dan pisah (washl wa al-fashl)




KEPUSTAKAAN

Az-Zarqaniy, Muhammad Abdu al-Adzim. Manahilu al-Irfan, (Juz.I; Dar Qutaebah, t.tp, t.t, t.p.
Ash-Shabuniy, Muhammad Ali. Studi Ilmu al-Qur'an, (Cet.I; Maktabah al-Ghazali, Damaskus), 1991
AF., Hasanuddin. Anatomi al-Qur'an Perbedaan Qira'at dan Pengaruhnya terhadap Istimbath Hukum dalam al-Qur'an.(Cet.I;Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada), 1995.
Al-Lahmam, Qadi' Sayyed. Manahil al-Irfan, Juz I; t.tp., t.t., t.p.
Bell, Richard. Pengantar Qur'an oleh W.Montgomery watt. Diterjemahkan oleh Lillian D. Tedja Sudhana; Jakarta: INIS, 1998
Farjani, Muhammad Rajab. Kaifa Nata'abbad Ma'a al-Mushaf. (t.Cet; Cairo: Dar al-I'tizham, t.tp), 1978.
Khalil, Moenawir. Al-Qur'an dari Masa ke Masa. (Cet.VI; Solo: CV. Ramadani), 1985
Khallaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul al-Fiqhi. (Cet.I;Mesir: Maktabah al-Dakwah al-Islamiyah), 1968
Munawir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawir. (Yogyakarta: t.tp.), 1954
Marzuki Kamaluddin. 'Ulum al-Qur'an. ( Cet.I; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya), 1992
Ramli, Abdul Wahid. Ulum al-Qur'an. Edisi Revisi, Cet.IV; Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2002
Shihab, M. Quraisy, dkk. Sejarah dan 'Ulum al-Qur'an. Cet.III; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001
Al-Zarqazy, Muhammad Ibnu Abdillah. Al-Burhan fi Ulum al-Qur'an. (Jilid I, t.Cet; Cairo: Maktabah Isa al-Bab al-Halabi wa syirkah), 1972

Tidak ada komentar:

Posting Komentar