Rabu, 03 Juli 2013

PERBANDINGAN ALIRAN KALAM

PERBANDINGAN ALIRAN KALAM
BAB I
 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk yang berakal, berakal berarti berpikir, berpikir berarti bertanya, bertanya berarti mencari jawaban, dan mencari jawaban berarti mencari kebenaran. Dalam proses pencarian kebenaran perbedaan pendapat adalah suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Semakin jauh orang melangkah dalam civilisasi dan kebudayaan, semakin jauh pula perbedaan itu, sehingga memunculkan aliran-aliran dalam filsafat, sosial, ekonomi, dan sebagainya.
Di kalangan kaum muslimin telah terjadi perbedaan pendapat dalam mempelajari ilmu Kalam  sehingga melahirkan berbagai mazhab dalam aspek-aspek i'tiqad, politik dan fiqh.
Pasca wafatnya Rasulullah saw. Abu Bakar terpilih menjadi khalifah pertama kemudian dilanjutkan oleh Umar bin Khattab sebagai khalifah kedua. Ketika Usman bin Affan menjadi khalifah ketiga, benih-benih kekacauan mulai muncul baik secara fisik maupun non fisik dan semakin membesar pada masa Ali bin Abi Thalib memimpin umat Islam sebagai khalifah keempat kemudian muncullah beberapa paham yang berbicara tentang persoalan kepemimpinan (politik) yang dirangkai dengan persoalan Aqidah.
Persoalan-persoalan politik yang terjadi di dalam  lapangan politik inilah yang akhirnya membawa kepada timbulnya persoalan-persoalan teologi. Timbullah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir dalam arti siapa yang telah keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap dalam Islam.
Dimulai dengan pendapat Khawarij tentang orang yang berbuat dosa, sampai pada pemahaman-pemahaman tentang ketuhanan dapat melahirkan paham-paham dan aliran-aliran seperti Murjiah, Qadariyah, Jabariyah, Mu'tazilah, Asy'ariyah dan Maturidiyah yang dapat memperkaya khazanah kehidupan Umat tentang aqidah dan persoalan-persoalan yang masih menyelimuti umat.
Untuk itu penulis mencoba menelusuri salah satu sub bagian dalam ilmu Kalam tentang perbandingan aliran-aliran serta ajaran-ajarannya. Sehingga dari perbandingan aliran tersebut kita mampu memahami, menelaah, membandingkan antar paham aliran satu dengan yang lainnya.

B. Rumusan Masalah
Dari pemaparan latar belakang diatas, maka yang akan menjadi rumusan masalah yaitu:
1.    Bagaimana perbandingan pemahaman aliran tentang iman dan kufur?
2.    Bagaimana perbandingan pemahaman aliran tentang akal dan wahyu?
3.    Bagaimana perbandingan pemahaman aliran tentang perbuatan Tuhan?
4.    Bagaimana perbandingan pemahaman aliran tentang perbuatan manusia?
5.    Bagaimana perbandingan pemahaman aliran tentang kalam Allah?
6.    Bagaimana perbandingan pemahaman aliran tentang tajassum?
7.    Bagaimana perbandingan pemahaman aliran tentang melihat Tuhan?






BAB II
PEMBAHASAN
A. Iman dan Kufur
Persoalan iman dan kufur adalah dua hal yang menjadi agenda utama lahirnya teologi Islam. Iman didefinisikan sebagai keyakinan terhadap Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-Nya, hari kiamat.   
Iman dalam pengertian bahasa berasal dari bahasa Arab yaitu kata amanah yang mempunyai dua makna. Makna pertama berarti amanah lawan kata dari khianat, makna kedua berarti  tasdiq, yaitu pembenaran.  Sedangkan Kufur jamak dari kafara yaitu lawan kata dari iman. Dinamakan demikian karena menutup kebenaran.
     Istilah iman berkonotasi positif, sedangkan kufur berkonotasi negative. Secara Umum, Iman mempunyai pengertian percaya kepada Allah, malaikat-malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul, hari kiamat, dan qadar baik dan Buruk . Sedangkan kufur mengandung indikasi makna tidak percaya kepada Allah dan kerasulan Nabi Muhammad saw, atau pembawa ajaran agama yang bersumber dari Allah swt . Dengan demikian orang yang pertama disebut mukmin, sedangkan pada golongan kedua disebut kafir.
Beberapa pandangan aliran teologi Islam tentang permasalahan ini antara lain:
1. Khawarij
Iman menurut pandangan Khawarij tidak semata-mata percaya kepada Allah. Mengerjakan segala perintah kewajiban agama juga merupakan bagian dari keimanan. Dengan demikian, siapapun yang menyatakan dirinya beriman kepada Allah dan bahwa Muhammad adalah rasulnya, tetapi tidak melaksanakan kewajiban agama dan malah melakukan perbuatan dosa, ia dipandang kafir oleh Khawarij.
Golongan khawarij asli dan terdiri atas pengikut-pengikut ali, disebut golongan al-Muhakkimah. Bagi mereka Ali, Muawiyah, kedua pengantara  Amru Ibnu Ash, Abu Musa al-Asy'ari dan semua pengikut yang menyetujui arbitrase bersalah dan menjadi kafir.  Dosa-dosa besar seperti zina, oleh golongan ini dianggap sebagai perbuatan yang membawa kepada kekafiran, demikian pula perbuatan-perbuatan dosa besar lainnya.
Subsekte Azariqah lebih ekstrim dibanding dengan sekte al-Muhakkimah dengan anggapan hanya merekalah yang beragama Islam dan diluar dari golongannya itu kafir dan masuk neraka. Lebih ekstrim lagi  mereka tidak lagi memakai term kafir, tetapi term musyrik atau polytheist. 
Golongan Najdah, berlainan dengan kedua golongan di atas, berpendapat bahwa orang berdosa besar yang menjadi kafir dan dalam neraka hanyalah orang Islam yang tak sepaham dengan golongannya. Adapun pengikutnya jika mengerjakan dosa besar dinamakan kafir nikmah bukan kafir al-din, betul akan mendapat siksaan dalam neraka, dan kemudian akan masuk surga . Namun secara umum, semua Aliran Khawarij sepakat atas paham takfir al-mua'yyan (berani mengkafirkan seseorang secara langsung).
2. Murjiah
Harun Nasution dan Abu Zahrah membedakan Murjiah menjadi dua kelompok utama, yaitu Murjiah  moderat (Murjiah sunnah) dan murjiah ekstrim (murjiah bid’ah).  Golongan moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya, dan ada kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya dan oleh karena itu tidak akan masuk neraka sama sekali.
 Salah satu sekte dalam Murjiah yaitu Yunusiyah  berpendapat bahwa  iman adalah pengenalan kepada Allah dengan menaati-Nya, meninggalkan keinginan dan rencana (pribadi) serta menyerah segala-galanya kepada Allah dengan penuh hati.  Barang siapa yang mempunyai kualitas ini, ia adalah seorang mukmin. Tindakan-tindakan ketaatan selain ini tidak membentuk bagian iman dan tidak melaksanakannya tidaklah merusak esensi iman.
Di antara golongan ekstrim yang dimaksud oleh Harun Nasution adalah al-Jahmiyah, pengikut-pengikut Jahm Ibn Safwan . Golongan ini mendakwahkan bahwa manusia yang percaya pada Tuhan dan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan tidaklah menjadi kafir, karena iman dan kufur tempatnya hanyalah dalam hati.
3. Mu'tazilah
Status pelaku dosa besar apakah masih beriman atau telah kafir adalah salah satu sebab lahirnya paham mu’tazilah. Pelaku dosa besar bagi Khawarij adalah kafir, bagi Murjiah tetap mukmin dan tidak kafir. Sedangkan Mu'tazilah tidak menentukan status dan predikat yang pasti bagi pelaku dosa besar apakah tetap mukmin atau telah kafir, kecuali dengan sebutan yang sangat terkenal al-manzilah bain al-manzilatain. Setiap pelaku dosa besar, menurut Mu'tazilah menempati posisi tengah di antara posisi mukmin dan posisi kafir yang disebut dengan istilah fasik. Jika meninggal dunia sebelum bertobat, ia akan dimasukkan ke dalam neraka selama-lamanya. Namun, siksaan yang bakal diterimanya lebih ringan dari pada siksaan orang kafir.   
Iman bukanlah tasdiq bagi mu’tazilah. Iman dalam arti mengetahuipun belumlah cukup. Menurut 'Abd al-Jabbar, orang yang tahu Tuhan tetapi melawan kepadanya, bukanlah orang mukmin. Dengan demikian iman bagi mereka bukanlah tasdiq, bukan pula ma'rifah, tetapi amal yang timbul sebagai akibat dari mengetahui Tuhan. Tegasnya iman bagi mereka adalah pelaksanaan perintah-perintah Tuhan.
4. Asy'ariyah
     Akal dan wahyu bagi kaum Asy'ariyah memiliki porsi yang berbeda untuk mengetahui kewajiban mengetahui Tuhan. Untuk mengetahui kewajiban diperlukan wahyu. Oleh karena itu iman secara esensial adalah tasdiq.  Batasan iman, sebagaimana diberitakan al-Asyari ialah tasdiq bi Allah.
Paham Mu'tazilah mengatakan apabila pembuat dosa besar tidak bertaubat dari dosanya itu, meskipun ia mempunyai iman dan ketaatan, tidak akan keluar dari neraka. Aliran Murjiah mengatakan siapa yang iman kepada Tuhan dan mengikhlaskan diri kepadanya, maka bagaimanapun besar dosa yang dikerjakannya, namun tidak akan mempengaruhi kesempurnaan imannya, datanglah al-Asy'ari mengatakan bahwa orang mukmin  yang mengesakan Tuhan tetapi fasik, terserah kepada Tuhan, apakah akan diampuninya dan langsung masuk surga ataukah dijatuhi siksa karena kefasikannya tetapi kemudian dimasukkannya ke dalam surga.
5. Maturidiyah
Khawarij dan Mu'tazilah memasukkan amal sebagai salah satu komponen iman, sedangkan Asyariyah dan Maturidiyah tidak menganggap amal sebagai salah satu komponennya. Oleh karena itu orang yang melakukan dosa besar tidak keluar dari iman, sekalipun amalnya tetap dihisab dan ia akan mendapat siksa, serta Allah dapat saja mencurahkan rahmat kepadanya, itulah sebabnya al-Maturidi berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak kekal di neraka, sekalipun ia meninggal dunia tanpa bertaubat. 
Aliran Maturidiyah samarkand  berpendapat bahwa iman adalah Tasdiq bi al-Qalb, bukan semata-mata iqrar bi al-Lisan.
B. Akal dan Wahyu
Kata ’Aql dalam bahasa arab mempunyai beberapa arti, diantaranya: Ad-diyah (denda), al-hikmah (kebijakan), husnut tasharruf  (tindakan yang baik atau tepat). Secara terminologi, ‘aql (selanjutnya ditulis akal).  Menurut Muhammad Abduh akal adalah suatu daya yang hanya dimiliki manusia, dan oleh karena itu dialah yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Akal adalah tonggak kehidupan manusia dan dasar kelanjutan hidupnya.
Wahyu secara kebahasaan memiliki banyak arti yang berbeda. Diantaranya adalah, isyarat, tulisan, perkataan, pesan. Menurut abu ishak wahyu dalam dalam semua bahasa adalah pemberitahuan secara rahasia. 
1.  Mu'tazilah
Aliran Mu'tazilah sebagai penganut pemikiran kalam rasional berpendapat bahwa akal mempunyai kemampuan mengetahui keempat hal tersebut di atas, kepercayaan mereka terhadap akal hanya dibatasi oleh penghormatan mereka terhadap perintah-perintah syara'. Setiap masalah yang timbul dihadapkan kepada akal, yang dapat diterima akal mereka akui, dan yang tidak dapat diterima akal, mereka tolak.
Mu’tazilah banyak dipengaruhi dan mengambil landasan pemikiran filsafat Yunani, sehingga  mereka percaya akan kekuatan dan kesanggupan akal untuk mengetahui segala sesuatu dan memperbandingkannya satu sama lain, dan salah satu hasilnya ialah hukum mereka yang terkenal, yaitu: "al-Fikru Qabla Wurûdi al-Syar'I" maksudnya, akal pikiran harus didahulukan dari pada syara'.
Dalam permasalahan ini Abu al-Huzail dengan tegas mengatakan bahwa sebelum turun wahyu, orang telah berkewajiban mengetahui Tuhan, dan jika ia tidak berterima kasih kepada Tuhan, orang sedemikian akan mendapat hukuman. Baik dan jahat menurut pendapatnya, juga dapat diketahui dengan perantaraan akal dan dengan demikian orang wajib mengerjakan yang baik.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kaum Mu'tazilah berpendapat bahwa keempat masalah pokok tersebut dapat diketahui dengan akal. Tampak, bahwa Mu'tazilah memberi peran yang sangat penting bagi akal, bahkan wahyu di mata mereka adalah bentuk pengetahuan yang benar-benar kehilangan landasan rasional sehingga perlu dibantu akal.
2. Asy'ariyah
Persoalan akidah Asy’ariyah menggunakan dalil naqli dan aqli, hal yang bertalian dengan sifat-sifat Tuhan, rasul-Nya, hari akhir, perhitungan amal dan dosa. Ia menggunakan dalil rasional dan logika dalam membuktikan kebenaran apa yang terkandung dalam al-Quran dan sunnah, setelah ia membuktikan kebenarannya melalui dalil naqli.
Menurut al-Baghdadi akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi tidak dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, karena segala kewajiban dapat diketahui hanya melalui wahyu.
     Al-Ghazali juga berpendapat bahwa akal tak dapat membawa kewajiban-kewajiban bagi manusia, kewajiban-kewajiban ditentukan oleh wahyu. Dengan demikian, kewajiban kewajiban mengetahui Tuhan dan kewajiban berbuat baik dan menjauhi yang jahat hanya dapat diketahui dengan perantaraan wahyu.
Adapun soal mengetahui Tuhan, maka uraian al-Ghazali bahwa wujud Tuhan dapat diketahui melalui pemikiran tentang alam yang bersifat dijadikan.
3. Maturidiyah
Pemikiran teologinya, al-Maturidi mendasarkan pada Alquran dan akal. Dalam hal ini, ia sama dengan al-Asyari'. namun, porsi yang diberikannya kepada Akal lebih besar dari pada yang diberikan oleh al-Asy'ari.
Dalam persoalan ini al-Maturidi sepaham dengan Mu'tazilah, bahwa akal dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan. akan tetapi meskipun akal  semata-mata sanggup mengetahui Tuhan, namun ia tidak sanggup mengetahui hukum-hukum taklifi(perintah perintah tuhan), dan pendapat terakhir ini berasal dari Abu Hanifah. 
Maturidiyah berpendapat bahwa segala sesuatu dapat dinilai baik atau buruk dari berdasarkan substansinya. Demikian bagi Maturidiyah akal dapat mengetahui adanya Tuhan, kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, dan mengetahui baik dan buruk tetapi akal tidak dapat mengetahui kewajiban berbuat baik dan meninggalkan buruk karena itu wahyu sangatlah diperlukan untuk menjelaskannya.
Pendapat Maturidiyah diatas diterima oleh pengikutnya disamarkand. Adapun pengikut-pengikutnya di bukhara mereka mempunyai paham yang berlainan sedikit, perbedaan tersebut berkisar sekitar persoalan kewajiban mengenai Tuhan.
Kaum  maturidiyah bukhara tidak sepaham dengan Samarkand, bagi mereka hanya pengetahuan-pengetahuan yang dapat diperoleh akal. Adapun kewajiban-kewajiban, itu wahyulah yang menentukannya. Jadi yang dapat diketahui akal hanya dua dari empat masalah, yaitu adanya tuhan dan kebaikan serta kejahatan.
C. Perbuatan Tuhan
Semua aliran dalam pemikiran kalam berpandangan  bahwa Tuhan juga melakukan perbuatan. Perbuatan di sini dipandang sebagai konsekuensi logis dari zat yang memiliki kemampuan untuk melakukannya. Namun yang menjadi polemik dikalangan mutakallimin adalah apakah perbuatan tuhan itu terbatas pada hal-hal yang baik saja, tetapi juga mencakup kepada hal-hal yang buruk.
Ada tiga  aliran besar yang mengutarakan pendapatnya dalam permasalahan ini yaitu:


1. Mu' tazilah
Mu'tazilah sebagai aliran kalam yang bercorak rasional, berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanyalah terbatas pada hal-hal yang dikatakan baik. Ini tidak berarti bahwa tuhan tidak mampu melakukan perbuatan buruk. Tetapi perbuatan buruk tidak ia lakukan karena tuhan mengetahui keburukan perbuatan buruk itu. Malah didalam alquran jelas-jelas dikatakan bahwa tuhan tidaklah berbuat zalim. Ayat-ayat al quran yang dijadikan dalil oleh mu'tazilah untuk mendukung pendapat diatas adalah Q.S al-Anbiya 21:23 dan Q.S al-Rum 30:8 yaitu:
     
Terjemahan:
"Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai".
  •         
Terjemahan:
"Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar"
Maka pernyataan alquran ini sejalur dengan term yang dipergunakan oleh mu'tazilah al-Salah wa al-Aslah.
Pandangan mu'tazilah mengenai al-Salah dan al-Aslah bahwa sesungguhnya Allah melakukan suatu perbuatan dengan tujuan untuk memberikan manfaat kepada hambanya. Dan sungguh suatu kewajiban bagi Allah berbuat baik dan terbaik bagi hambanya.,
Konsekuensi dari paham Salah wal al-Aslah ini memunculkan paham kewajiban Allah sebagai berikut  :
1.    kewajiban tidak memberikan beban diluar kemampuan manusia
2.    kewajiban mengirim rasul
3.    kewajiban menepati janji (al-Wa'd) dan Ancaman (al-Wa'id)
2. Asya'riyah
Berbeda dengan mu'tazilah, bagi kaum Asy'ariyah persoalan al-Salah dan al-Aslah tak dapat diterima, karena bertentangan dengan faham kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan. Hal  ini ditegaskan oleh al-Ghazali ketika mengatakan bahwa tuhan tidak berkewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia. Menurut al-Ghazali  perbuatan-perbuatan Tuhan bersifat tidak wajib (ja'iz) dan tidak satupun dari padanya yang mempunyai sifat wajib. Tuhan, sekali-kali tidak mempunyai kewajiban terhadap hambanya. 
3. Maturidiyah
al-Maturidiyah mempunyai pandangan berbeda dari kedua pandangan aliran diatas. Ia berpendapat bahwa Allah Maha Suci dari berbuat secara main-main. Segala perbuatan senantiasa sesuai dengan kebijaksanaannya, dan karena dia Maha Bijaksana serta Maha Mengetahui sebagaimana Dia telah mensifati diriNya dengan sifat-sifat itu. Ketika menentukan hukum Taklif dan melakukan segala perbuatannya yang berkaitan dengan penciptaan, Allah menghendaki dan memaksudkan semua itu atas dasar hikmah tersebut. Sehingga tidak ada yang memaksa kehendaknya, karena dia sepenuhnya bebas memilih. Jadi, berdasarkan hal itu tidaklah tepat dikatakan bahwa Allah berkehendak melakukan yang baik dan yang terbaik, karena kewajiban itu menafikan kehendak dan menandakan bahwa selain Allah ada yang berhak atas diri-Nya. 

D. Perbuatan Manusia  
Masalah perbuatan manusia bermula dari pembahasan sederhana yang dilakukan oleh kelompok Jabariyah dan kelompok qadariyah, yang kemudian dilanjutkan dengan pembahasan yang lebih mendalam oleh aliran Mu'tazilah, Asy'ariyah, dan Maturidiyah.
Beberapa pandangan dari aliran tersebut sebagai berikut:
1. Mu'tazilah
Kaum Mu'tazilah dalam sistem teologi mereka manusia dipandang mempunyai daya yang besar lagi bebas, sudah barang tentu menganut paham qadariyah atau free will. Dan memang mereka juga disebut kaum qadariyah. Pula keterangan-keterangan dan tulisan-tulisan para pemuka mu'tazilah banyak mengandung paham kebebasan dan berkuasanya manusia atas perbuatan-perbuatannya.
     Menurut al-Jubba'I dan Abd al-Jabra bahwa manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya. Dan daya (al-istitha'ah) untuk mewujudkan kehendak yang terdapat dalam diri manusia sebelum adanya perbuatan. 
2. Asya'riyah
Al-Asya'riyah berpendapat bahwa manusia dan perbuatannya adalah makhluk Allah, baik dan buruknya adalah tuhan yang menjadikannya. Sebagaimana firman Allah dalam Q,S as-Shaffat ayat 96: "Berkata Ibrahim: Patutkah kamu menyembah patung-patung yang kamu perbuat dari batu-batu? Allah menjadikan kamu dan apa-apa yang kamu perbuat."
Dalam menggambarkan hubungan perbuatan manusia dan iradat Tuhan, Asy'ari menggunakan Teori Kasb yaitu segala sesuatu terjadi dengan perantaraan daya yang diciptakan dan dengan demikian menjadi perolehan atau kasb bagi orang yang dengan dayanya perbuatan itu timbul. artinya apabila seseorang ingin melakukan sesuatu perbuatan, perbuatan itu baru terlaksana jika sesuai dengan kehendak Tuhan.
3. Maturidiyah
Ada perbedaan antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara mengenai perbuatan manusia. Kelompok pertama lebih dekat dengan faham Mu'tazilah, sedangkan kelompok kedua lebih dekat dengan faham Asy'ariyah. Kehendak dan daya berbuat pada diri manusia, menurut Maturidiyah Samarkand adalah kehendak dan  daya manusia  dalam arti kata sebenarnya, dan bukan dalam arti kiasan. Perbedaanya dengan Mu'tazilah adalah bahwa daya untuk berbuat tidak diciptakan sebelumnya, tetapi bersama-sama dengan perbuatannya. Daya yang demikian porsinya lebih kecil daripada daya yang terdapat dalam faham Mu'tazilah. Oleh karena itu, manusia dalam faham al-Maturidiyah, tidaklah sebebas manusia dalam Mu'tazilah.
Maturidiyah Bukhara dalam banyak hal sependapat dengan Maturidiyah Samarkand. Hanya saja golongan ini memberikan tambahan dalam masalah daya. Menurutnya untuk perwujudan perbuatan perlu ada dua daya. Manusia tidak mempunyai daya untuk melakukan perbuatan, hanya Tuhanlah yang dapat mencipta, dan manusia hanya dapat melakukan perbuatan yang telah diciptakan tuhan baginya.

E. Kalamullah
Mengenai Kalam Allah atau sabda Tuhan atau tegasnya al-Qur’an persoalannya dalam teologi ialah: kalau  sabda merupakan sifat, sabda mesti kekal, tetapi sebaliknya sabda Adalah tersusun dan oleh karena itu mesti diciptakan dan tak bisa kekal. Oleh karena itu, nampaklah beberapa argumen dari beberapa aliran tentang permasalahan ini yaitu:
1. Mu'tazilah
Kaum mu'tazilah menyelesaikan persoalan ini dengan mengatakan bahwa sabda Tuhan bukanlah sifat tetapi perbuatan Tuhan. Dengan demikian alquran bukanlah bersifat kekal tetapi bersifat baharu dan diciptakan Tuhan. Argumen mereka, alquran tersusun dari bagian-bagian berupa ayat dan surat, ayat yang satu mendahului yang lain dan surat yang satu mendahului yang lain pula. Adanya pada sesuatu, sifat terdahulu dan sifat datang kemudian, membuat sesuatu itu tidak bisa bersifat qadim, yaitu tak bermula, karena yang tak bermula tak didahului oleh apapun. Dalil naqli yang dipegangi Mu'tazilah terdapat dalam Q.S. Hud (11):1.
2. Asyariyah
Golongan Asy'ariyah sepakat bahwa sabda adalah sifat dan sebagai sifat Tuhan mestilah kekal. Susungguhnya al-Qur’an kalam Allah bukan Makhluk. Salah seorang tokoh golongan Asyariyah yaitu al-Juwaini menjelaskan bahwa kalam Allah dibedakan menjadikan dua, yakni al-Kalam al-Nafsiy al-Qadim adalah kalam dalam artian abstrak, apa yang dipahami dari tulisan, ada pada zat Tuhan. Ia bersifat qadim dan azaliy serta tidak berubah-ubah denga adanya perubahan ruang, waktu, dan tempat. Maka alquran sebagai kalam Tuhan dalam artian ini bukanlah makhluk. Al-kalam al-Lafdzi al-Hadỉts adalah yang dapat ditulis, dibaca, dan disuarakan oleh makhlukNya, yaitu al-Qur’an yang dapat dibaca sehari-hari. Maka kalam dalam artian ini bersifat hadits (Baru) dan termasuk makhluk.
3. Maturidiyah
Golongan  Maturidiyah sependapat dengan golongan Asyariyah dalam hal kalam Tuhan, al-Maturidi membedakan antara sabda yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau makna abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf-huruf dan kata-kata adalah baharu (hadits). 

F. Tajassum
Tajassum adalah sebuah paham yang menyamakan wujud Tuhan dengan makhluk, Penganut paham inilah yang disebut dengan kelompok mujassimah atau musyabbihah.
Beberapa pemikiran aliran berkenaan tentang tajassum yaitu:
1. Mu'tazilah
Sebagai aliran yang berpegang teguh pada kekuatan akal dan mencoba menyelesaikan persoalan ini dengan mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Karena Tuhan bersifat immateri, sehingga tuhan tidak memiliki sifat-sifat jasmani. Adapun ayat-ayat yagn mengarah kepada hal tersebut harus diberi interpretasi lain. Misalnya kata al-Arsy (tahta kerajaan) diberi interpretasi kekuatan, al-Ain (mata) diartikan pengetahuan, al-wajh (muka) diartikan esensi, dan al-yad (tangan) adalah kekuasaaan.
2. Asy'ariyah
Asy'ariyah berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani namun berbeda dengan sifat-sifat jasmani manusia, meskipun demikian alquran menyebutkan tuhan mempunyai mata, muka, tangan, dan sebagainya itu tidak sama dengan yang ada pada manusia. Mereka berpandapat bahwa kata-kata ini tidak boleh diberi intrepretasi lain. Seperti kata al-Asyari, Tuhan mempunyai dua tangan, tetapi itu tak boleh diartikan rahmat atau kekuasaaan Tuhan.
Untuk itu alquran mengatakan bahwa tuhan mempunyai tangan dan manusia harus menerima itu, kalau manusia tak dapat mengetahuinya, itu berarti karena Tuhan Maha Kuasa dan dapat mempunyai bahkan juga menciptakan hal-hal yang tak dapat diselami akal manusia yang lemah.
3. Maturidiyah
Kaum Maturidiyah golongan bukhara dalam hal ini tidak sepaham dengan kaum Asy'ariyah. Tangan Tuhan menurut al-Bazdawi adalah sifat dan bukan anggota badan tuhan, yaitu sifat sama dengan sifat lain seperti pengetahuan, daya dan kemauan.
Sementara maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tangan, muka, mata dan kaki adalah kekuasaan Tuhan. Tuhan tidak mempunyai badan, sungguhpun tidak sama dengan badan jasmani, karena badan tersusun dari substansi dan accident (jauhar dan ard). Manusia berhajat pada anggota badan karena tanpa anggota badan manusia menjadi lemah, adapun Tuhan tanpa anggota badan ia tetap Maha Kuasa.
G. Melihat Allah
Persoalan Melihat Tuhan adalah salah satu pembahasan menarik dalam perdebatan aliran-aliran Kalam. Beberapa pandangan aliran kalam sebagai berikut:
1. Mu'tazilah
Mu'tazilah sebagai aliran kalam yang mendahulukan akal dari pada Wahyu berargumen bahwa Tuhan karena bersifat Immateri, tidak dapat dilihat dengan mata kepala karena beberapa landasan akal dan naql yaitu:
1.    Kalau Tuhan bisa dilihat maka dia mempunyai sudut dari pandangan, berarti kalau dia mempunyai sudut maka dia mempunyai tempat hal ini adalah Mustahil bagi Allah.
2.    Pernyataan di dalam Alquran  kepada Musa   menunjukkan mustahil bahwa Allah Mustahil dilihat.
3.    Firman Allah dalam QS al-An'am 6:103:
          

Terjemahan:
 "Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan dialah yang Maha halus lagi Maha Mengetahui".
Mu'tazilah mengatakan bahwa makna idrak didalam ayat ini berarti ru'yah (melihat), ini menunjukkan bahwa ia tidak dapat dilihat.
2. Asya'riyah
Bertentangan dengan pendapat Mu'tazilah di atas, kaum Asy'ariyah mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat kelak dengan mata kepala.
Pendapat ini berdasarkan dalil-dalil yang dikemukakan imam al-Ghazali yaitu:
1.    Secara akal menyatakan bahwa segala sesuatu yang berwujud dapat dilihat, Allah itu wujud dan semua yang wujud boleh dilihat maka kesimpulannya bahwa Allah dapat dilihat.
2.    Ayat-ayat didalam Alquran yang dijadikan sandaran Asy'ari dalam menopang pendapatnya adalah Q.S. al-Qiyamah, 75:22-23 sebagai berikut:
        
Terjemahan:
"Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri.  Kepada Tuhannyalah mereka Melihat."
Kaum Mu'tazilah menafsirkan kata  pada ayat ini bukanlah berarti memandang wajah  Tuhan, tetapi menunggu balasan pahala yang akan diberikan Tuhan. Akan tetapi dibantah oleh Asyari' bahwa makna adalah berarti melihat Tuhan. Karena kalau kata diartikan menunggu akan tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Karena dalam kaidah bahasa Arab kata menunggu tidak menggunakan kata   , seperti dalam Q.S. Yasin 36:49
        

Terjemahan:
"Mereka tidak menunggu melainkan satu teriakan saja, yang akan membinasakan mereka ketika mereka sedang bertengkar."
Dan beberapa ayat dalam alquran berkenaan tentang melihat Allah seperti dalam surah al-A'raf(7) ayat 143 dan surah yunus (10) ayat 26.
3. Maturidiyah
Maturidiyah Samarkand sejalan dengan Asy'ariyah dalam hal Tuhan dapat dilihat. Sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Maturidi bahwa melihat Tuhan itu merupakan hal yang pasti dan benar, tetapi tidak dapat dijelaskan bagaimana cara melihatnya, QS al-An'am ayat 103 . yang dijadikan dalil oleh al-Maturidi dalam mendukung pendapatnya tentang Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala, diberi tafsiran dengan mengatakan, bahwa Tuhan dapat dilihat maka penafsiran al-idrak (pengungkapan dengan cara-cara yang jelas) tidaklah ada artinya. Hal ini karena bila selain Tuhan hanya dapat ditangkap dengan pandangan menempatkan nafy al-idrak, penafian tersebut menjadi tidak bermakna. Oleh sebab itu, Tuhan dapat dilihat.








BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pembahasan dan Uraian diatas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.    Selanjutnya konsep Iman dan  Kufur terdapat  tiga kelompok yang sangat berbeda dalam menentukan hukum kafir dan mukmin, kelompok pertama yang mengatakan bahwa orang yang berbuat dosa besar dan sampai meninggal belum bertobat mereka mati kafir dan kekal dineraka inilah yang dianut oleh paham Khawarij, berbeda dengan mu'tazilah yang menghukum perbuatan dosa besar dengan sebutan fasiq yang menduduki posisi antara mukmin dan kafir (al-manzilah bain al-manzilatain). Sementara kelompok ketiga yang memahami bahwa orang yang berbuat dosa besar tetap mukmin, karena imannya masih ada tetapi karena dosa besar ia menjadi fasik. terserah kepada Tuhan, apakah akan diampuninya dan langsung masuk surga ataukah dijatuhi siksa karena kefasikannya tetapi kemudian dimasukkannya ke dalam surga. Inilah yang dipegang oleh aliran Asy'ariyah, Maturidiyah, dan Murjiah.
2.    Berkenaan tentang perbuatan Tuhan. aliran Mu'tazilah dan dan Maturidiyah samarkand memandang perbuatan Tuhan hanya pada yang baik-baik saja ia terbatas untuk berbuat buruk, maka dia berkewajiban mengutus Rasul dan menepati janji. Sedangkan Asyariyah dan Maturidiyah Bukhara Tuhan berbuat sekehendaknya tanpa ada ikatan kewajiban bagi makhluknya.
3.    Permasalahan perbuatan manusia. Aliran Mu'tazilah, Maturidiyah Samarkand dan Qadariyah bahwa kehendak daya dan perbuatan dikendalikan oleh manusia sendiri, sebaliknya Jabariyah semua yang melakukan adalah Tuhan, adapun  Asy'ariyah dan Maturidiyah Bukhara kehendak diciptakan Tuhan tapi daya dan perbuatan terdapat campur tangan Tuhan dan tangan manusia.
4.    Antropomorphisme merupakan penggambaran Tuhan dan menyerupakan Tuhan dengan Makhluknya. Maturidiyah Bukhara bahwa Tuhan mempunyai sifat dan bukan anggota badan tuhan, yaitu sifat sama dengan sifat lain seperti pengetahuan, daya dan kemauan. Namun bagi Mu'tazilah dan Maturidiyah Samarkand gambaran dalam ayat-ayat Alquran mesti diinterpretasikan. Adapun Asy'ariyah berpendapat bahwa ayat-ayat alquran tidak boleh diberi interpretasi.
5.    Persoalan Kalam Tuhan, Mu'tazilah berpendapat kalam Tuhan bukanlah sifat tetapi perbuatan Tuhan, Dengan demikian Alquran bukanlah bersifat kekal tetapi bersifat baharu dan diciptakan Tuhan. Karena alquran tersusun dari bagian-bagian berupa ayat dan surat. Adapun Aliran Asy'ariyah dan Maturidiyah sepakat bahwa Kalam Tuhan atau Alquran adalah Kekal.
6.    Dari sisi melihat Tuhan, Tuhan tidak dapat dilihat baik didunia dan diakhirat menurut Mu'tazilah dan Asy'ariyah hanya diakhirat kelak bisa dilihat. maturidiyah Samarkand melihat Tuhan hal yang pasti dan benar, tetapi tidak dapat dijelaskan bagaimana cara melihatnya.
 Penulis sendiri cenderung kepada paham yang dianut oleh aliran Asy'ariyah dan Maturidiyah Bukhara, yang cenderung mendahulukan wahyu tanpa menafikan pentingnya peranan Akal dalam kehidupan kita.



DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan terjemahannya. Madinah: Lembaga Percetakan al-Qur’an Raja                    Fadh,1971.

Abu Zahrah, Imam Muhammad. Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah, diterjemahkan Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik dan 'Aqidah dalam Islam. Cet. I; Jakarta: Logos Publishing House, 1996.

Amin, Ahmad. Dhuha al-Islam, Jilid III. Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, t.th.

Al-Asy'ari. al-Ibanah an Ushul al-Diyanah. Cet. IV: Saudi Arabiyah: Maktabah Dar al-Bayan, 1993 M/ 1413 H.

Al-Khurasyi, Sulaeman bin Shalih. Naqd Ushûl al-Aqlaniyyin. Riyad: Dar al-Ulum al-Sunnah. t.th.

Al-Baghddi, 'Abdul Qadir bin Tohir. al-farqu Baina al-Firq. Cet. I; Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1973.

Al-Qardhawy, Yusuf. al-İman wal Hayat, diterjemahkan Facruddin HS, Iman dan kehidupan. Cet. III; Jakarta: PT Bulan Bintang, 1993.

Al-Syahrastani. al-Milal wa al-Nihal, Juz I. Mesir: Maktabah Taufîqiyah, t.th. 

Al-Syuk'at, Musthafa. Islam Bila Madzahib. Mesir: Maktabah Usrah, 2005.

Glasse, Cyril,  Ensiklopedi Islam, Cet III,  Jakarta: Rajawali Pers, 2002

Izutzu, Toshihiko, konsep kepercayaan Dalam Teologi Islam: Analisis Semantik Iman dan Islam. Cet I. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994

Jamaluddin, Abu al-Fadhil. Lisan al-Arab. Beirut: Dar shadir, t.th.

Jauhari, Muhammad, Muhammad Rabi'. Iktinasul al-'Awali Min Iktishodi al-  Ghazali. Cet.  III; Mesir: 2002M/1422H.

Mansur, M. Laily. Pemikiran Kalam Dalam Islam. Cet. I; Jakarta: PT  Pustaka Firdaus, 1994.

Nasution, Harun. Teologi Islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisa perbandingan. Cet. V; Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI Press), 1986.

-------------------. Akal dan Wahyu dalam Islam. Cet. II; Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI Press) , 1986.
-------------------. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu'tazilah. Cet, I; Jakarta: UI Press 1987.

Rozak, Abdul dan  Rosihan Anwar. Ilmu Kalam. Cet. III; Bandung: CV Pustaka Setia, 2007.

Shadili, Hasan, et al.,  Ensiklopedia Indonesia, Juz III. Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hauven, 1982.

 Subhi, Ahmad Mahmud. Fi 'Ilmi al-Kalam, Dirasah Falsafiyah Li ara'i al-Firaq  al-Islamiyah fi Usûl al-Dîn. Cet. V; Beirut: Dar al-Nahdah al-Arabiyah, 1985/1405H.

Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah. Ensiklopedia Islam Indonesia. Jakarta: jambatan, 1992.

Zakariyah, Abu al-Husain Ahmad ibn  Faris. Mu'jam Maqayis al-Lughah. Juz I. Beirut: Dar Fikri, t.th.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar